Suara.com - Kalangan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mendesak pemerintah agar menunda kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan, yakni untuk periode 2026–2029.
Mereka menilai kebijakan fiskal yang selama ini diterapkan pemerintah justru memperburuk kondisi industri hasil tembakau (IHT), meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), serta memperluas peredaran rokok ilegal.
Desakan tersebut juga ditujukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang baru, Letjen TNI (Purn) Djaka Budi Utama, yang diharapkan dapat mempertimbangkan usulan moratorium CHT dalam perumusan kebijakan ke depan.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menilai bahwa kebijakan kenaikan cukai setiap tahun telah menjadi bumerang bagi industri, dan tidak efektif mencapai tujuan fiskal maupun pengendalian konsumsi.
![Rokok ilegal yang diselundupkan tanpa pita cukai. [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/12/16/22700-rokok-ilegal.jpg)
"Kenaikan cukai tahunan, yang tidak efektif dalam mengendalikan konsumsi serta berdampak pada target penerimaan negara, adalah bukti kebijakan yang merugikan semua pihak. Rokok legal sudah mahal dan tertekan, rokok ilegal terus tumbuh," ujar Sudarto seperti dikutip Senin (30/6/2025).
Sudarto juga menyampaikan dukungan penuh terhadap usulan moratorium, namun dengan catatan bahwa penundaan tersebut tidak disusul dengan lonjakan tarif yang drastis pada tahun-tahun berikutnya.
"Sudah seharusnya cukai rokok tidak naik, namun jangan seperti tahun-tahun yang lalu, tidak naik tapi berikutnya kenaikannya berlipat ganda atau dirapel," imbuh dia.
Menurutnya, di tengah kondisi ekonomi yang masih penuh tekanan, kebijakan penundaan justru bisa menjaga daya beli masyarakat serta menyelamatkan lapangan kerja di sektor padat karya seperti industri hasil tembakau.
"Industri ini padat karya, menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Banyak dan/atau besarnya daya beli pekerja berperan dalam menjaga perekonomian nasional. Hal ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak seperti diatur dalam UUD 1945," imbuh Sudarto.
Baca Juga: Pengamat Imbau Raperda KTR DKI Jakarta untuk Dikaji Ulang
Sebagai langkah jangka panjang, Sudarto juga mendorong pemerintah untuk melakukan deregulasi serta revitalisasi industri guna meringankan beban sektor padat karya.
"Perlu tindakan nyata; keringanan bahkan penghapusan berbagai beban yang terlalu berat yang mengancam kelangsungan industri sebagai sawah ladang sumber mata pencaharian pekerja," lanjutnya.
Senada dengan itu, Ketua FSP RTMM-SPSI Daerah Istimewa Yogyakarta, Waljid Budi Lestariyanto, juga menyoroti tekanan berlapis yang dialami industri, terutama karena turunnya daya beli masyarakat.
Ia berharap Presiden RI turut mempertimbangkan moratorium CHT demi kelangsungan sektor ini.
"Karena mengingat daya beli masyarakat juga turun, jadi kami justru ingin meminta kepada Presiden untuk menunda kenaikan cukai paling tidak tiga tahun ke depan. Karena kita melihat kondisi ekonomi juga tidak baik-baik saja," jelas Waljid.
Selain itu, Waljid juga menekankan bahwa kebijakan pembatasan yang berlebihan justru mendorong peredaran rokok ilegal yang kian meluas.
"Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada pengaturan, pembatasan, dan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), tetapi juga menunjukkan keseriusan dalam menegakkan hukum terhadap peredaran rokok ilegal," tegasnya.
Atas dasar itulah, SPSI-RTMM telah menolak kebijakan pertembakauan dalam PP 28/2024 sejak awal disahkan. Mereka pun tengah menyiapkan surat resmi kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, untuk menyampaikan aspirasi penolakan terhadap pasal-pasal tembakau dalam regulasi tersebut.
Selain aspek non-fiskal, Waljid juga menyoroti kebijakan fiskal berupa kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau yang dinilainya tidak tepat dilakukan dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
"Daya beli masyarakat turun, kemudian masyarakat itu akan tetap merokok tapi dengan rokok yang lebih murah. Sekarang lagi marak yang tanpa cukai itu, yang ilegal," jelasnya.