- Wacana pencabutan insentif kendaraan listrik perlu dikaji akibat fluktuasi harga minyak dunia dan menghambat pasar nasional.
- Pengamat Ibrahim Assuaibi menyatakan industri mobil listrik Indonesia masih tahap pertumbuhan memerlukan dukungan pemerintah.
- Pencabutan insentif dini dapat meningkatkan harga mobil listrik, menurunkan minat masyarakat beralih dari BBM.
Suara.com - Wacana pencabutan insentif kendaraan listrik dinilai perlu dikaji secara matang, terutama di tengah dinamika geopolitik global yang kerap memicu fluktuasi harga minyak mentah dunia.
Kebijakan tersebut dinilai berpotensi berdampak pada beban impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia, sekaligus menghambat pertumbuhan pasar kendaraan listrik nasional.
Pengamat Ekonomi, Mata Uang, dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi, menilai pasar mobil listrik di Indonesia hingga saat ini masih berada pada tahap awal pengembangan.
Hal itu disampaikannya dalam sebuah diskusi yang disiarkan melalui kanal YouTube dan membahas arah kebijakan fiskal serta masa depan insentif kendaraan listrik.
![Pemilik kendaraan melakukan pengisian daya kendaraan listrik di SKPLU, Jakarta, Senin (7/7/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/07/84837-spklu-ilustrasi-spklu-stasiun-pengisian-kendaraan-listrik-umum.jpg)
Menurut Ibrahim, industri kendaraan listrik di Tanah Air belum sepenuhnya matang dan masih membutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah.
"Saya katakan bahwa ini masih masa pertumbuhan. Artinya apa? Masa pertumbuhan itu masih mereka itu memilah-milah mana yang pasar mana yang harus dioptimalkan, mobil merek apa, harganya berapa, ini yang harus bisa dilakukan oleh pengusaha-pengusaha mobil listrik," ujarnya seperti dikutip, Selasa (30/12/2025).
Ia membandingkan kondisi tersebut dengan industri kendaraan berbahan bakar fosil yang telah lebih dulu mapan dan memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi tekanan ekonomi.
"Berbeda dengan mobil-mobil yang berbahan bakar fosil, seperti Toyota, Mitsubishi, dan lain-lain. Mereka selalu membuat satu strategi bagaimana dalam kondisi saat ini ekonomi tidak berimpek saja, membuat produk-produk mobil yang harganya relatif lebih murah dan terjangkau oleh masyarakat," imbuhnya.
Lebih lanjut, Ibrahim menilai pencabutan insentif kendaraan listrik dan penyamaan pajaknya dengan kendaraan berbahan bakar minyak berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk beralih ke mobil listrik.
Baca Juga: Insentif Kendaraan Listrik Dihentikan, Untung atau Buntung?
"Karena pada saat insentif, subsidi insentif itu dihilangkan, kemudian pajak mobil listrik sama dengan pajak mobil fossil berbahan bakar fosil, kemungkinan besar harganya akan lebih mahal, sehingga akan ditinggalkan," ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa ketidakpastian geopolitik global kerap berdampak langsung pada lonjakan harga minyak mentah. Dalam situasi tersebut, kebijakan yang justru mendorong peningkatan konsumsi BBM impor dinilai perlu dipertimbangkan secara cermat.
"Semoga wacana ini tidak jadi karena saat ini perkembangan Indonesia masih belum stabil, sehingga masih butuh insentif dari pemerintah. Tujuannya adalah agar masyarakat itu beralih dari membentuk bahan bakar fossil berubah menjadi bahan listrik," katanya.
Menurut Ibrahim, pola adopsi kendaraan listrik di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa insentif masih menjadi faktor pendorong utama sebelum kendaraan listrik benar-benar dipilih karena kebutuhan.
"Baru setelah itu berkebutuhan. Jadi pertama insentif dulu, kedua adalah kebutuhan," bebernya.
Ia juga menilai, pengguna kendaraan listrik di Indonesia masih terbatas pada kelompok tertentu. Jika insentif dihentikan terlalu dini, ada potensi masyarakat kembali memilih kendaraan berbahan bakar minyak.