Istilah supporter juga sudah hampir ditiadakan. Yang ada adalah fans, penggemar, atau kalau ekstrem namanya altruist dan macam-macam.
Sebenarnya masalahnya itu-itu saja, dan usaha [perbaikan] ke arah situ sering terlupakan karena sibuk untuk menggelar pertandingan dan kompetisinya, mengejar klasemen, dan mengejar revenue barangkali ya.
Banyak pihak menyalahkan aparat karena menggunakan gas air mata yang jelas dilarang dalam aturan FIFA. Komentar Anda?
Kita tidak bisa langsung menyalahkan aparatnya karena peraturan FIFA ini kan dibuat senetral mungkin, segenerik mungkin untuk mengakomodasi seluruh kepentingan anggota asosiasi.
Ada 200 lebih sekarang anggotanya, setiap negara pasti berbeda pendekatannya.
Nah, kita bicara kewenangan public authority, dalam hal ini kepolisian, yang punya landasan hukum sendiri.
Sementara FIFA juga punya batasan. Ini harus dikomunikasikan. Mungkin komunikasi ini, kesamaan persepsi yang saya sampaikan tadi belum tercapai dengan baik.
Anda tadi menyebutkan perbedaan persepsi. Ini perbedaan persepsi antara siapa dengan siapa, dan biasanya apa perbedaannya?
Stakeholder pengamanan yang utama dalam hal ini kan Kepolisian negara, kemudian ada kepentingan dari industri sepak bola. Ini harus disamakan dulu.
Pendekatan polisi mungkin adalah criminal justice, sementara kalau di industri sepak bola adalah loss prevention.
Ini kan enggak ketemu nih, jadi ini harus dipertemukan. Pasti ada titik pertemuannya itu dan kesepakatannya harus dibuat.
Baca Juga: Tragedi Kerusuhan Kanjuruhan Malang, Polri Periksa Sejumlah Pihak, Ini Daftarnya
Misalnya begini, pengamanan di kota-kota besar seperti Jakarta mungkin persepsinya sudah mendekati kesamaan, tapi mungkin enggak ideal kalau derby Jawa Timur diselenggarakan di Jakarta.
Padahal kesiapan otoritas publiknya mungkin sudah lebih siap, karena sudah terbiasa menghadapi event-event besar. Atau mungkin kita lakukan di Bali. Ini memang sesuatu yang tidak populer. Tapi kalau kita bisa duduk melakukan cost-benefit analysis, [keinginan] semuanya mungkin bisa kita akomodasi.
Ya memang tidak maksimal, mungkin revenue tidak seperti yang diharapkan tapi tetap ada, keamanan juga tercapai, dan yang terpenting tidak boleh ada korban jiwa.
Kalau berkaca pada negara-negara lain, apakah ada formula yang bersifat universal untuk mempertemukan persepsi itu?
Formulanya adalah pencegahan, bukan penindakan ... dan ini di Indonesia harusnya bisa saja, tinggal kemauannya saja, dan didorong oleh political will.
Yang enggak mau biasanya siapa, Pak?
Mungkin ada satu self-pride yang tidak pada tempatnya di antara para penyelenggara.
Dan political will dalam hal ini menurut Anda harusnya datang dari siapa?
Kalau menurut kultur kita kan ini kan bukan bottom-up tapi top-down, jadi ya harus dari atas.