Di era awal menuju kompetisi semi profesional dan profesional, perusahaan swasta seperti Prince, SMART, dan Cambodian Airways mulai mengucurkan investasi, entah untuk pembangunan stadion atau kepemilikan klub.
Kehadiran entitas swasta ini tentu berdampak positif untuk klub di Kamboja, utamanya dalam sisi pengelolaan keuangan. Untuk informasi pada 2021, satu klub di Kamboja membutuhkan dana operasional semusim di angka 500 ribu dollar AS.
Sato sebagai CEO kemudian putar otak bagaimana perusahaan swasta ini memiliki rencana jangka panjang di Liga Kamboja.
Sato yang pernah menjadi pegawai di klub raksasa LaLiga, Barcelona kemudian mengincar hak siar TV. Sato mengatakan bahwa ia banyak belajar soal hak siar pertandingan ini dari Liga Jepang hingga Premier League.
Sato di Barcelona yang menjadi manajer marketing internasional mulai menerapkan ilmu yang punya di klub Catalan itu untuk pengembangan Liga Kamboja.
"Saya awalnya bekerja di Barcelona pada awal 2000-an, ketika tim-tim di Eropa mulai menyadari besarnya potensi pasar di Asia," ucapnya.
![Ada Pemikiran Brilian Eks Barcelona di Balik Meroketnya Liga Kamboja [Tangkap layar Youtube]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/20/91477-satoshi-saito.jpg)
Langkah berani dan besar kemudian diambil Sato saat menjadi CEO Liga Kamboja. Kompetisi di negara itu dibagi menjadi dua tingkat, dengan 8 tim di divisi teratas dan 12 klub di divisi kedua.
Sebelumnya di era awal 2000-an hingga 2021, klub yang berkompetisi di Liga Kamboja sebanyak 13 tim.
Untuk bermain di kompetisi utama dan divisi kedua, Sato pun menerapkan aturan ketat, utamanya sistem penilaian yang tak boleh kurang dari 70.
Baca Juga: Persija Menang Saat Tim Compang-camping, Pelatih Spanyol Geleng-geleng
"Klub harus mencapai skor dasar 70, yang dinilai berdasarkan berbagai kriteria, seperti status hukum, solvabilitas keuangan, infrastruktur serta kualitas stadion," jelas Sato.