Suara.com - Sanksi terbaru dari FIFA terhadap PSSI kembali menjadi sorotan publik, menyusul insiden diskriminasi yang terjadi saat pertandingan Timnas Indonesia melawan Bahrain pada Maret 2025.
Namun, ini bukanlah kali pertama federasi sepak bola dunia tersebut menjatuhkan hukuman kepada Indonesia akibat ulah suporter yang tidak tertib.
Pertandingan yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, menjadi titik awal munculnya kembali sanksi dari FIFA.
Sekitar 200 suporter di tribun utara dan selatan dilaporkan melakukan teriakan bernada xenophobia yang melanggar aturan FIFA tentang prinsip kesetaraan dan anti-diskriminasi.
Insiden tersebut tercatat terjadi pada menit ke-80, tepatnya di sektor 19 stadion.
Sebagai bentuk tanggapan, FIFA menjatuhkan denda sebesar hampir Rp400 juta kepada PSSI. Selain itu, kapasitas penonton untuk laga kandang Indonesia berikutnya akan dikurangi sebesar 15 persen.
Langkah ini diambil sebagai bagian dari komitmen FIFA dalam menegakkan aturan dan menjaga atmosfer positif dalam pertandingan sepak bola.
“PSSI harus bertanggung jawab atas perilaku diskriminatif suporter saat laga Indonesia vs Bahrain,” jelas anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga.

. (pssi.org)
Tak hanya itu, FIFA juga meminta agar PSSI menyusun strategi menyeluruh untuk memberantas diskriminasi dalam lingkungan sepak bola Indonesia.
Baca Juga: Sanksi Berat Komdis PSSI ke Yuran Fernandes Mendunia, FIFPro Beri Tanggapan
Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa organisasi dunia itu ingin Indonesia lebih serius dalam membenahi masalah ini dari akar.
Bukan Kasus Pertama: Kilas Balik Insiden 2019
Insiden diskriminatif pada laga kontra Bahrain bukan satu-satunya catatan hitam bagi sepak bola Indonesia.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada 5 September 2019, FIFA juga menjatuhkan sanksi kepada PSSI usai kericuhan yang terjadi saat laga kualifikasi Piala Dunia 2022 melawan Malaysia di GBK.
Kala itu, pertandingan sempat terhenti akibat kerusuhan di tribun yang melibatkan suporter dan aparat keamanan.
Bentrokan tersebut menjadi perhatian dunia dan akhirnya membuat FIFA menjatuhkan denda sebesar 45 ribu Franc Swiss atau sekitar Rp643 juta kepada PSSI.
Sekretaris Jenderal PSSI saat itu, Ratu Tisha, menegaskan bahwa federasi menghormati keputusan FIFA. Ia juga menyampaikan bahwa sepak bola seharusnya menjadi alat pemersatu, bukan pemicu konflik di tengah masyarakat.
“Kami berkomitmen untuk mengevaluasi seluruh proses dan memastikan kejadian seperti ini tidak terulang,” ujar Tisha.
Perlu Langkah Nyata: Literasi dan Edukasi Suporter
![Ilustrasi suporter Timnas Indonesia. [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/11/20276-suporter-timnas-indonesia.jpg)
. [Suara.com/Alfian Winanto]
Rangkaian sanksi dari FIFA seharusnya menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan sepak bola nasional.
PSSI dan klub-klub lokal perlu lebih serius dalam melakukan edukasi terhadap suporter mengenai pentingnya menjaga etika, sportivitas, dan sikap saling menghargai.
FIFA sendiri menekankan bahwa sepak bola harus menjadi ruang inklusif yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan, tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Arya Sinulingga juga mengakui bahwa langkah pembenahan harus segera dimulai.
“Kita harus mulai langkah-langkah literasi dan edukasi agar suporter lebih sadar, tertib, dan menghargai perbedaan,” jelas Arya.
Insiden-insiden ini memperlihatkan bahwa perilaku segelintir oknum suporter bisa berdampak besar pada reputasi dan masa depan sepak bola Indonesia.
Sanksi bukan hanya soal denda, tetapi juga menyangkut citra bangsa dan peluang besar yang bisa hilang di level internasional.
Kontributor : Imadudin Robani Adam