Suara.com - Mantan bintang Brasil, Adriano, mengungkap sisi kelam kariernya yang penuh potensi namun berakhir prematur.
Cerita mengenai kegagalan karier Adriano sering diungkap olehnya pasca tak lagi aktif sebagai pesepak bola.
Adriano terbaru dalam sebuah wawancara dengan Amazon Prime Video seperti dikutip dari The Sun mengatakan dirinya sebagai 'limbah terbesar dalam sepak bola'
Ia juga mengaku bisa meraih Ballon d'Or jika saja tak terjatuh dalam jurang depresi dan kehilangan arah.
Adriano Leite Ribeiro, atau yang lebih dikenal dengan Adriano, adalah salah satu talenta paling menakutkan yang pernah dimiliki Brasil dan Serie A Italia.
![Kisah Adriano Sang Kaisar: Dianggap Dibunuh Gangster hingga Hilang di Piala Dunia 2022 [Infobae]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/25/45233-adriano.jpg)
Meledak bersama Flamengo di tahun 2000, Adriano mencuri perhatian dunia saat membela Inter Milan mulai 2004.
Dengan kekuatan fisik, tendangan kaki kiri yang dahsyat, serta insting mencetak gol yang luar biasa, ia dijuluki "The Emperor".
Bersama Inter Milan, Adriano meraih tiga gelar Serie A dan menjelma menjadi momok bagi lini belakang lawan.
Di level tim nasional, ia membentuk lini serang impian bersama Ronaldo Nazario, Ronaldinho, dan Kaka.
Baca Juga: Membedah Alur Transfer Pemain di Liga Eropa: Dari Negosiasi hingga Aliran Uang
Namun di balik kejayaan tersebut, tersimpan luka mendalam yang menggerogoti semangat hidup sang striker.
Pada tahun 2004, sang ayah meninggal dunia—sebuah tragedi yang mengubah hidup Adriano selamanya.
"Saya pergi keluar malam hanya untuk melupakan. Tapi keesokan harinya saya merasa lebih buruk. Bukan karena saya ingin berpesta atau hidup bebas, tapi karena hati saya terasa berat."
Adriano mengaku bahwa pihak Inter Milan sebenarnya sudah mencoba membantunya. Mereka menawarkan perawatan di pusat rehabilitasi khusus untuk mengatasi depresinya, namun Adriano menolak karena saat itu ia tidak menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan.
"Itu kesalahan besar. Presiden Inter saat itu, Massimo Moratti, sudah menawarkan segalanya untuk membantu saya. Tapi saya tolak. Saya kira saat itu semua yang saya lakukan adalah normal."
Tak hanya depresi, gaya hidup Adriano yang penuh pesta dan alkohol turut memperparah kondisinya.
Masalah kebugaran dan performa terus memburuk hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri kontraknya dengan Inter pada tahun 2009.
"Saya bicara dengan Moratti dan bilang saya siap menerima hukuman apapun. Saya tak mau terus menerima gaji besar sementara saya tidak bisa bermain. Saya tidak punya mentalitas untuk terus bertahan."
Adriano mengakhiri kariernya pada 2016, setelah sempat membela klub-klub seperti Roma, Corinthians, dan kembali ke Flamengo.

Kini, di usia 43 tahun, ia menyesali keputusannya di masa lalu dan mengaku jika dirinya punya pola pikir seperti sekarang, maka Ballon d'Or bukan hal mustahil.
"Dengan pikiran saya sekarang, saya yakin bisa memenangkan Ballon d'Or." ungkapnya.
"Saya tidak berada di kondisi mental yang baik. Setelah ayah saya meninggal, sepak bola lepas dari tangan saya," kata Adriano