Alasan Keputusan PSSI Fokus Timnas Bukan Liga Bisa Jadi Bom Waktu

Arief Apriadi Suara.Com
Senin, 04 Agustus 2025 | 13:59 WIB
Alasan Keputusan PSSI Fokus Timnas Bukan Liga Bisa Jadi Bom Waktu
Alasan Keputusan PSSI Fokus Timnas Bukan Liga Bisa Jadi Bom Waktu. (Instagram/erickthohir)

Suara.com - Pernyataan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang tak malu-malu lagi menyebut fokus utama federasi adalah prestasi Timnas Indonesia alih-alih kualitas kompetisi domestik, menjadi sorotan.

Pasalnya, merujuk riset "Grassroots Football Development: Pathway to National Success" dari Ohio University, sikap PSSI berpeluang jadi "bom waktu" bagi Timnas Indonesia di masa mendatang.

Sejak menjabat Ketua Umum PSSI, Erick Thohir memang tancap gas memperkuat skuad Timnas Indonesia, mayoritas dengan memaksimalkan program naturalisasi.

Hasilnya tidak bisa dipandang sebelah mata: Timnas Indonesia kini punya peluang besar tampil di Piala Dunia 2026 jika sukses melalui kualifikasi putaran keempat.

Tim nasional kelompok umur pun menunjukkan grafik peningkatan performa, diberbagai kompetisi internasional yang diikuti.

Namun di balik geliat positif Timnas Indonesia, kompetisi domestik justru dianggap tak berkembang pesat dan cenderung stagnan.

Liga Indonesia, yang sebelumnya bernama Liga 1 dan kini Super League, secara peringkat tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lain, baik dari sisi kualitas permainan, tata kelola, maupun infrastruktur.

Peluncuran BRI Super League 2025/2026 (Dok. Super League).
Peluncuran BRI Super League 2025/2026 (Dok. Super League).

Berdasarkan data resmi AFC, Super League kini menempati peringkat ke-5 di Asia Tenggara (ASEAN). Masih berada di bawah bawah Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura.

Di samping itu, Liga Putri juga belum kembali digelar dan turnamen seperti Piala Indonesia masih mati suri.

Baca Juga: BRI Liga 1: Persib Bekuk Western Sydney Wanderers FC, Ini Kata Bojan Hodak

Padahal, sebelum era Erick, PSSI sempat mengaktifkan dua kompetisi tersebut.

Ketika dikritik publik soal minimnya perhatian terhadap liga, Erick Thohir tetap bergeming. Ia menegaskan bahwa PSSI punya fokus berbeda.

"PSSI fokusnya tim nasional. Jadi kalau orang mau bicara, 'Oh PSSI tidak mau bertanggung jawab dengan liga'. Ya biarin aja. Kan mindset kita boleh berbeda," kata Erick Thohir dilansir dari kanal YouTube Liputan6.

"Karena yang saya lihat di seluruh dunia ya PSSI yang tim nasional. Mau di Jerman, mau di Inggris ya fokusnya tim nasional," jelas mantan bos Inter Milan itu.

Ia juga menyebut bahwa penyelenggaraan liga berada di tangan operator, sementara PSSI hanya mengatur agenda-agenda FIFA untuk Timnas dari kelompok umur hingga senior.

"Liga itu sudah bergerak sendiri seperti Premier League, Bundesliga. Iya kan? Dan kenapa sekarang FIFA mendorong banyak pertandingan tim nasional? Bayangin nih, U-17-nya tiap tahun, U-20 ya," ujar Erick Thohir.

"Sampai saya bilang di PSSI, 'Oh, ini baru duduk udah pengumuman lagi ya'. Tim U-20 putri ya. Hah? Baru duduk, 'Oh U-17 kita udah ada Piala Kemerdekaan yang untuk persiapan November ya'," pungkasnya.

Meski demikian, pendekatan ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi masa depan sepak bola nasional jika tak dibarengi dengan pembenahan akar rumput (grassroots) dan liga.

Pasalnya, bukan rahasia bahwa Timnas yang kuat tak bisa terus-menerus ditopang lewat naturalisasi atau pembinaan instan.

Sebuah riset berjudul "Grassroots Football Development: Pathway to National Success", yang ditulis Pius Chukwunwike Ndubuokwu dan Mahmud Oluwalose dari Ohio University, secara tegas menunjukkan bahwa kunci utama suksesnya tim nasional justru bermula dari sistem pembinaan akar rumput dan kompetisi yang terstruktur.

Studi ini merujuk pada model pengembangan pemain dari negara-negara maju seperti Jerman, Spanyol, Argentina, dan Nigeria.

Riset tersebut menemukan bahwa negara-negara sukses di level internasional memiliki kesamaan pola: investasi besar pada akademi, kompetisi usia dini yang terstruktur, pelatih bersertifikasi, serta jalur yang jelas antara klub dan tim nasional.

Sebaliknya, negara seperti Amerika Serikat justru tertinggal meski punya basis grassroots besar karena sistem yang terfragmentasi dan pendekatan pay-to-play yang membatasi akses pemain dari kelas bawah.

Kondisi yang dijelaskan riset ini bisa menjadi cermin bagi Indonesia. Jika liga terus terpinggirkan dan pembinaan usia dini tidak digarap serius, maka regenerasi pemain akan terhambat.

Pada akhirnya, ketergantungan terhadap pemain naturalisasi bisa menjadi solusi jangka pendek yang tidak berkelanjutan.

Lebih jauh, riset itu juga menegaskan pentingnya sinergi antara liga, akademi, dan federasi nasional. Tanpa keterpaduan sistem, tim nasional hanya akan menjadi panggung sementara yang rapuh secara fundamental.

Merujuk temuan riset tersebut, kebijakan PSSI yang terlalu fokus pada Timnas tanpa menguatkan fondasi kompetisi dan pembinaan usia muda, bisa menjadi bom waktu yang siap meledak.

Timnas memang penting, tapi liga dan grassroots adalah pondasi yang menopangnya. Tanpa fondasi yang kuat, mimpi tampil reguler di Piala Dunia bisa buyar hanya dalam hitungan generasi.

"Model sepak bola akar rumput global memberikan wawasan penting untuk memperkuat sistem [grassroots] di AS," tulis riset tersebut dikutip dari World Journal of Advanced Research and Reviews, Senin (4/8/2025).

"Eropa menekankan akademi yang terorganisir dan pengembangan yang dipimpin klub, Amerika Selatan berkembang pesat berkat permainan kasual dan struktur klub yang kuat, sementara Afrika diuntungkan oleh kepanduan swasta dan hubungan dengan Eropa."

"AS memiliki masalah seperti bayar untuk bermain, standar kepelatihan yang bervariasi, dan jalur perkembangan [pemain] yang terfragmentasi."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI