Suara.com - Suatu malam di Libreville, Gabon, 2012—Stoppila Sunzu terpeleset saat menendang penalti penentu. Seluruh Afrika menahan napas.
Namun, bola tetap meluncur ke pojok atas gawang, dan Zambia menjadi juara Piala Afrika untuk pertama kalinya.
Di sudut lapangan, para pemain bersujud dalam doa dan syukur, tapi satu pemain tak tampak, Joseph Musonda, cedera parah, tak mampu berjalan.
Lalu datanglah sang pelatih, Herve Renard, yang mengenakan kemeja putih rapi, mengangkat Musonda dan membawanya ke lingkaran doa.
![Senyum Ngenyek Pelatih Arab Saudi Pasca Timnas Indonesia Disikat Australia [Twitter Herve Renard]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/22/54711-herve-renard.jpg)
Adegan itu merangkum siapa Herve Renard sesungguhnya—bukan sekadar pelatih, tapi pemimpin spiritual bagi timnya.
9 Oktober 2025, Renard akan menjadi lawan bagi Patrick Kluivert di laga Timnas Indonesia vs Arab Saudi dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Renard bukan nama besar di Eropa. Karier kepelatihannya tak dibentuk oleh klub-klub elite, melainkan ditempa lewat jalur tak biasa, dari SC Draguignan di Prancis, ke Shanghai, lalu ke Cambridge United di Inggris, hingga akhirnya menapaki jalan menjadi "Pangeran Afrika."
Tapi sosok yang membentuknya justru adalah Claude Le Roy—sang mentor dan "Raja Afrika" sejati—yang mengajarinya untuk menyatu dengan budaya lokal dan memahami jiwa setiap pemain.
Bersama Zambia dan kemudian Pantai Gading, Renard membuktikan kekuatannya, membangun tim juara bukan dari taktik rumit, tapi dari ikatan emosional yang kuat.
Baca Juga: Kevin Diks Sudah Jadi Andalan Gladbach, Seoane: Kami Tenang Dengannya
Di Piala Afrika 2015, setelah sebelumnya menyingkirkan Pantai Gading pada 2012, Renard kembali memimpin mereka menjadi juara.
Ia menggendong Yaya Touré di pundaknya di tengah pesta, hanya seminggu setelah mengkritiknya.
Itulah Renard—keras saat dibutuhkan, tapi juga penuh empati.
Namun, jalannya tak selalu mulus. Saat melatih Sochaux di Ligue 1, ia gagal menyelamatkan tim dari degradasi.
Di Lille, ia tak mampu menemukan formula sukses, padahal sempat dianggap pilihan cerdas.
Tapi di Afrika, ia tak tergantikan. Ia tak hanya melatih, tapi juga hidup bersama rakyatnya—di Zambia, di Pantai Gading, Maroko ndan kini di Arab Saudi.