Media Belanda Bahas Peran Sepak Bola dalam Kemerdekaan Indonesia, Singgung Tuntutan PSSI

Arief Apriadi Suara.Com
Rabu, 20 Agustus 2025 | 14:57 WIB
Media Belanda Bahas Peran Sepak Bola dalam Kemerdekaan Indonesia, Singgung Tuntutan PSSI
Tim Hindia Belanda di Piala Dunia 1938 di Prancis. (Historia.id)

Suara.com - Di tengah suasana perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, sejarah panjang perjuangan bangsa di atas lapangan hijau turut menjadi pembahasan media Belanda, NOS.

Jauh sebelum menjadi olahraga terpopuler, sepak bola disebut NOS memainkan peran penting sebagai alat perjuangan dan simbol perlawanan terhadap kolonialisme, menorehkan babak awal dari sejarah Timnas Indonesia yang penuh dengan narasi kompleks.

Olahraga ini awalnya diperkenalkan oleh orang-orang Belanda pada akhir abad ke-19 dan menjadi permainan eksklusif kaum Eropa.

Namun, masyarakat pribumi dengan cepat mengadopsinya sebagai medium untuk menyatukan semangat nasionalisme, yang puncaknya adalah berdirinya PSSI pada 1930 di Yogyakarta sebagai tandingan federasi bentukan Belanda.

Visi PSSI sebagai alat pemersatu bangsa langsung diuji dalam kontroversi Piala Dunia 1938, di mana tim Hindia Belanda berpartisipasi.

Kisah kiper legendaris Tan Mo Heng, salah satu dari sedikit pemain pribumi di tim itu, menjadi simbol kompleksitas identitas dan perjuangan di tengah dominasi kolonial saat itu.

Menurut sejarawan sepak bola, Ferry Klinkert, sepak bola dengan cepat dilihat oleh para pejuang kemerdekaan sebagai alat yang efektif.

Pendiri PSSI, Soeratin Sosrosoegondo, melihat permainan ini sebagai cara untuk menyatukan masyarakat dari berbagai pulau yang saat itu masih terpecah-belah di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

“Soeratin melihat sepak bola sebagai alat untuk menyatukan orang Indonesia,” ungkap Klinkert dalam video dokumenter NOS.

Baca Juga: Senyum Mees Hilgers di Tribun, Meski Masa Depannya di FC Twente Suram

Kiper keturunan tionghoa, Tan Mo Heng membela tim Hindia Belanda pada Piala Dunia 1938. [Dok. Boombastis.com]
Kiper keturunan tionghoa, Tan Mo Heng membela tim Hindia Belanda pada Piala Dunia 1938. [Dok. Boombastis.com]

Konflik besar pecah saat NIVU (Nederlandsch-Indische Voetbal Unie), federasi sepak bola yang dikuasai Belanda, membentuk tim untuk berangkat ke Piala Dunia 1938 di Prancis.

PSSI menolak keras keikutsertaan tim tersebut karena dua alasan fundamental: komposisi pemain dan nama yang digunakan.

PSSI menuntut agar lebih banyak pemain Indonesia dilibatkan dalam skuad dan nama tim diubah dari "Hindia Belanda" menjadi "Indonesia".

Namun, tuntutan yang sarat dengan muatan nasionalisme ini ditolak mentah-mentah oleh NIVU, yang justru memperdalam jurang pemisah antara kedua federasi.

Di tengah konflik itulah, sosok penjaga gawang Tan Mo Heng menjadi representasi dilema yang dihadapi para atlet pribumi.

Ia adalah salah satu pemain Indonesia yang terpilih, namun harus bermain di bawah bendera Hindia Belanda, sebuah cerminan perjuangan identitas bangsa yang terjebak dalam sistem kolonial.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, peran sepak bola sebagai simbol kedaulatan dan kebanggaan nasional menjadi semakin krusial.

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, secara sadar menggunakan kekuatan olahraga ini untuk membakar dan memelihara semangat nasionalisme di dada rakyat.

Soekarno, yang dikenal sebagai penggemar berat sepak bola, sering hadir langsung untuk mendukung tim nasional berlaga.

Ia bahkan memprakarsai pembangunan sebuah stadion megah di Jakarta sebagai simbol kekuatan bangsa, yang kini kita kenal sebagai Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Hingga hari ini, 80 tahun setelah kemerdekaan, sepak bola tetap menjadi olahraga nomor satu dan bagian tak terpisahkan dari identitas Indonesia.

Gairah luar biasa yang ditunjukkan para suporter di setiap pertandingan tim nasional menjadi bukti betapa dalamnya kecintaan bangsa ini terhadap sepak bola.

Ironisnya, hubungan kompleks dengan Belanda terus berlanjut hingga kini, namun dalam konteks yang sangat berbeda.

Ikatan sejarah itu kini membentuk masa depan Timnas Indonesia melalui para pemain keturunan yang memilih untuk membela tanah leluhur mereka dengan bangga.

Rafael Struick, salah satu pilar lini depan Timnas saat ini, menegaskan bahwa keputusannya didasari oleh ikatan emosional yang kuat.

“Ya, tentu saja istimewa bermain untuk Indonesia. Keluarga saya berasal dari sana, jadi saya memiliki ikatan yang kuat dengan negara ini,” ujarnya.

Rasa bangga yang sama juga diungkapkan oleh gelandang Ivar Jenner, yang melihat Indonesia lebih dari sekadar warisan keluarga.

“Saya sangat bangga bisa mewakili Indonesia. Ini adalah negara yang indah dengan orang-orang yang sangat ramah,” kata Jenner.

Dari sebuah alat perlawanan di era kolonial hingga menjadi kebanggaan di era modern, sepak bola terbukti lebih dari sekadar permainan.

Ia adalah bagian dari detak jantung sejarah, perjuangan, dan identitas bangsa Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI