- Dijuluki Little Kaiser, Ballack pernah dianggap penerus spiritual Franz Beckenbauer, legenda besar yang menjadi panutan setiap pemain Jerman.
- Ballack memulai karier profesionalnya di Chemnitzer FC, di mana bakatnya mulai terlihat dari kemampuan mencetak gol dan bermain dengan dua kaki sama baiknya.
- Bersama Bayern, Ballack menjadi simbol kekuatan dan elegansi, tajam di udara, kuat dalam duel, dan produktif mencetak gol dari lini kedua.
Suara.com - Michael Ballack adalah sosok yang sulit dilupakan dalam sejarah sepak bola Jerman.
Ia bukan sekadar gelandang dengan visi dan ketenangan luar biasa, tapi juga simbol dari generasi yang sering kali hampir meraih segalanya.
Dijuluki Little Kaiser, Ballack pernah dianggap penerus spiritual Franz Beckenbauer, legenda besar yang menjadi panutan setiap pemain Jerman.
Lahir di Gorlitz, Jerman Timur, Ballack memulai karier profesionalnya di Chemnitzer FC, di mana bakatnya mulai terlihat dari kemampuan mencetak gol dan bermain dengan dua kaki sama baiknya.
Setelah degradasi di musim debutnya, Ballack bangkit dengan mencetak 10 gol di musim berikutnya.
Penampilan itu menarik perhatian FC Kaiserslautern, klub yang baru saja promosi ke Bundesliga.
Langkah itu terbukti tepat. Bersama pelatih Otto Rehhagel, Kaiserslautern menciptakan sejarah dengan menjadi tim promosi pertama yang langsung juara Bundesliga (1997/98).
Raja Tanpa Mahkota
Meski perannya masih terbatas, Ballack mulai dikenal sebagai gelandang dengan insting juara.
Baca Juga: Jadwal Liga Jerman Pekan Ini 25-26 Oktober 2025: Klub Kevin Diks Lawan Raksasa Bundesliga
Dari situ, kariernya melejit ke Bayer Leverkusen, klub yang menjadi panggung utama dari cerita tragis tapi heroik sang bintang.
Ballack tampil luar biasa, namun justru di sinilah ia mengalami rentetan kegagalan yang membuatnya dikenal sebagai raja tanpa mahkota.
Dalam satu musim, Ballack menjadi saksi dari tiga kekalahan beruntun di tiga final, tragedi yang membuat Leverkusen dijuluki “Neverkusen”.
Namun, kegagalan itu justru memperkuat reputasinya.
Di Piala Dunia 2002, Ballack tampil sebagai pahlawan sejati Jerman.
Ia mencetak gol kemenangan di perempat final dan semifinal, sebelum harus absen di final karena akumulasi kartu kuning. Tanpa sang jenderal lini tengah, Jerman kalah dari Brasil.
Ironisnya, justru momen itu yang mempertegas sosok Ballack sebagai pemimpin sejati.
Setelah menjadi Footballer of the Year di Jerman, Ballack bergabung dengan Bayern Munich.
Di sana, ia akhirnya menikmati kesuksesan besar, tiga gelar Bundesliga, tiga Piala Jerman, dan status sebagai pemain terbaik Jerman tiga kali.
Bersama Bayern, Ballack menjadi simbol kekuatan dan elegansi, tajam di udara, kuat dalam duel, dan produktif mencetak gol dari lini kedua.
Namun ambisinya belum padam. Tahun 2006, Ballack bergabung dengan Chelsea untuk mencari tantangan baru di Premier League.
Bersama Frank Lampard dan Claude Makelele, ia membentuk salah satu trio gelandang paling komplet di Eropa.
Trofi-trofi domestik kembali datang, tiga Piala FA, satu Premier League, dan satu gelar ganda pada musim 2009/10.
Kutukan Final yang Tak Pernah Usai
Sayangnya, kutukan final masih menghantuinya.
Pada final Liga Champions 2008 di Moskow, Chelsea kalah lewat adu penalti dari Manchester United. Lagi-lagi, Ballack harus puas dengan posisi kedua di kompetisi terbesar Eropa.
Dalam karier internasionalnya, Ballack mengoleksi 98 caps dan 42 gol, angka luar biasa untuk seorang gelandang.
Ia memimpin Jerman ke semifinal Piala Dunia 2006 dan final Euro 2008, namun tak pernah meraih trofi bersama Die Mannschaft.
Cedera pada 2010 memaksanya absen di Piala Dunia Afrika Selatan, menandai akhir kariernya di tim nasional.
Ballack menutup perjalanan kariernya di Leverkusen, klub yang pernah membentuknya.
Dua musim penuh perjuangan tanpa gelar menjadi penutup yang tenang bagi seorang pemain yang begitu sering bersentuhan dengan kejayaan, tapi jarang memeluknya.
Kini, ketika banyak orang mengenang Ballack, yang muncul bukan hanya trofi yang terlewat, tapi juga karakter dan determinasi yang ia tunjukkan di lapangan.
Ia adalah pemimpin sejati, pemain dengan mental baja, dan simbol dari semangat Jerman di masa transisi.
Kontributor: Azka Putra