Suara.com - Petisi berjudul "Berikan Keadilan untuk Merince Kogoya, Hentikan Diskriminasi terhadap Anak Papua!" dibuat Roberthino Hanebora pada Senin, 30 Juni 2025.
Namun hingga lebih dari 24 jam dibuat, petisi tersebut belum ditandatangani 100 orang.
Hingga Selasa, 1 Juli 2025, sekitar pukul 4 sore, baru 90 orang yang memberikan dukungan untuk keadilan Merince Kogoya.
Sebagaimana diketahui, Merince Kogoya menjadi sorotan setelah mengaku didepak oleh Miss Indonesia 2025.
Merince Kogoya sebagai finalis asal Papua Pegunungan digantikan oleh Karmen Anastasya.
Pergantian tersebut disebabkan video lawas Merince Kogoya yang mengibarkan Bendera Israel.
Meski alasannya dipulangkan sudah jelas karena dukungan terhadap Israel, pembuat petisi justru menilai Merince Kogoya adalah salah satu contoh diskriminasi orang Papua.
Dalam surat terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto yang tercantum dalam petisi, Roberthino Hanebora menilai diskriminasi terhadap orang Papua semakin blak-blakan.
Baca Juga: Didepak dari Miss Indonesia, Merince Kogoya Merasa Seolah Ditindas dan Tak Dianggap
"Kami menulis surat ini bukan sekadar karena seorang finalis kontes kecantikan dipulangkan, tetapi karena mimpi, martabat, dan harapan seorang anak Papua kembali dikalahkan oleh prasangka dan stigma yang belum juga hilang dari tanah air ini," tulis Roberthino.
Petisi tersebut menuntut Merince Kogoya diberikan hak untuk menjelaskan kontennya membawa bendera Israel yang jadi masalah utama pemulangannya.
"Bukan karena pelanggaran etika atau moral, bukan karena tidak layak secara kapasitas—melainkan karena sebuah foto lama yang memperlihatkan ia memegang bendera Israel. Tanpa ruang klarifikasi. Tanpa keadilan," lanjut Roberthino.
Yang amat disayangkan pembuat petisi dan pendukungnya, negara diam melihat ketidakadilan tersebut.
"Apakah Indonesia hari ini memutuskan nasib seorang anak bangsa hanya berdasarkan viralnya unggahan media sosial?" tanya Roberthino.
Melalui petisi untuk memperjuangkan keadilan Merince Kogoya, Presiden Prabowo diharapkan tidak menambah luka yang dirasakan orang Papua sejak lama.