Suara.com - Bayangkan sebuah cerita memiliki dua takdir. Takdir pertama lahir dalam format sederhana di YouTube pada tahun 2017, singkat, manis, dan berhasil mencuri hati.
Delapan tahun kemudian, takdir kedua terwujud di layar lebar, lebih megah, lebih dalam, dan lebih menyakitkan. Inilah kisah ganda dari Sore: Istri Dari Masa Depan, sebuah bukti bahwa ide brilian bisa berevolusi menjadi sebuah mahakarya.
Kisah intinya tetap sama, Jonathan, seorang fotografer idealis, tiba-tiba didatangi oleh seorang wanita misterius bernama Sore yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan.
Namun, jika versi web series adalah sebuah sketsa yang indah, maka versi filmnya adalah sebuah lukisan cat minyak yang kompleks dan penuh detail emosional.
Ini bukanlah sekadar remake, melainkan sebuah penyempurnaan takdir.

Perbedaan paling kentara adalah wajah Sang Waktu itu sendiri. Di masa lalu (web series), Sore diperankan dengan hangat oleh Tika Bravani. Sedangkan di masa kini (film), takdir memilih wajah baru melalui Sheila Dara.
Istri Vidi Aldiano pun berhasil menyajikan kerapuhan dan keteguhan Sore dengan intensitas yang menggigit.
Peta perjalanan mereka pun diperluas. Jika dulu petualangan mereka hanya menjangkau Indonesia dan Italia, kini kanvasnya membentang dari Jakarta hingga ke lanskap dingin Kroasia dan Finlandia, memberikan skala yang lebih epik pada perjuangan mereka.
Bahkan, detak jantung cerita pun berubah. Soundtrack ikonik 'I'll Find You' dari Kunto Aji yang menjadi jiwa versi serial, kini digantikan oleh alunan magis ‘Pancarona’ dan ‘Terbuang Dalam Waktu’ dari Barasuara.
Baca Juga: Vidi Aldiano Terharu, Perjuangan Sheila Dara di Film Sore Terbayar Lunas dengan Sejuta Penonton

Ini bukan sekadar pergantian lagu, melainkan pergantian nuansa—dari pencarian yang penuh harap menjadi pertempuran melawan waktu yang melankolis.
Namun, evolusi terbesar terletak pada kedalaman ceritanya. Aktor Dion Wiyoko, yang memerankan Jonathan di kedua versi, menyebutkan bahwa serial web hanya menampilkan sekitar 40 persen dari keseluruhan kisah.
Filmnya adalah 60 persen sisanya; sebuah ruang di mana konflik batin, alasan kepergian Jonathan, dan beban yang ditanggung Sore dieksplorasi hingga ke dasarnya.
Sutradara Yandy Laurens dengan sengaja menguatkan elemen perjalanan waktu. Di versi film, melompati waktu bukanlah hal sepele. Setiap kali Sore kembali, tubuhnya membayar harga.
Mimisan hingga pingsan menjadi visualisasi nyata dari pengorbanannya, sebuah metafora pedih bahwa perjuangan cinta mereka benar-benar menguras jiwa dan raga.
Narasi film ini sendiri dibedah menjadi tiga babak, seolah memandu penonton melewati labirin waktu secara bertahap.