Suara.com - Kisah Erika Carlina dan DJ Panda bukan lagi sekadar gosip percintaan, melainkan sudah menjadi studi kasus nyata tentang betapa dahsyatnya kekuatan cancel culture di era digital.
Hanya dalam hitungan hari, karier yang dibangun DJ Panda beberapa tahun terakhir seakan menguap begitu saja.
Namun, apakah pembatalan massal ini benar-benar sebuah keadilan atau justru pengadilan massa yang memang harus diterima?
Kronologi Kejatuhan: Dari Podcast ke Panggung Kosong
Semua berawal dari satu panggung: podcast Deddy Corbuzier.
Pengakuan Erika Carlina soal kehamilannya menjadi pemantik. Kurang dari 48 jam, merek-merek besar seperti Atlas Super Club, W Superclub, Golden Tiger, dan puluhan lainnya serentak mengeluarkan pengumuman resmi.
Mereka "mengistirahatkan" DJ Panda dari line-up mereka.
Ini adalah pukulan telak yang menunjukkan betapa sensitifnya industri hiburan terhadap citra artisnya.
Dampak Ekonomi di Balik Pembatalan: Kerugian Finansial yang Tak Main-Main
Baca Juga: 5 Kesalahan Fatal dalam Klarifikasi 15 Menit DJ Panda yang Bikin Netizen Makin Geram
Mari kita bicara angka. Kehilangan satu jadwal manggung bagi DJ sekelas Panda bisa berarti kerugian puluhan juta rupiah.
Jika dikalikan dengan puluhan tempat yang membatalkannya, angka kerugian bisa mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah dalam sebulan.
Bagaimana kerugian pendapatan yakni perkiraan bayaran DJ Panda per gigs yang lenyap, termasuk efek jangka panjang yang bagaimana cancel culture dapat merusak nilai jual seorang artis di masa depan.
Selain itu, dampak ke tim seperti manajer, roadie, dan tim di belakangnya juga kehilangan sumber penghasilan.
Di satu sisi, cancel culture menjadi alat bagi publik untuk menuntut pertanggungjawaban dari figur publik.
Namun, di sisi lain, ia berisiko menjadi pengadilan yang masih membutuhkan verifikasi yang adil.