Suara.com - Kepolisian Daerah (Polda) Bali secara resmi telah menetapkan Direktur PT. Mitra Bali Sukses, IGASI, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali sebagai tersangka kasus dugaan pelanggaran hak cipta atas penggunaan lagu secara komersial tanpa membayar royalti.
Penetapan direktur Mie Gacoan Bali sebagai tersangka ini menjadi puncak dari laporan yang dilayangkan oleh Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) pada 26 Agustus 2024 lalu.
Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali, Komisaris Besar Polisi Ariasandy, kasus ini telah melalui proses penyelidikan mendalam sebelum akhirnya statusnya dinaikkan ke penyidikan pada 20 Januari 2025.
"SELMI diwakili oleh Vanny Irawan, selaku Manajer Lisensi berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh Ketua SELMI," ungkap Ariasandy di Denpasar.
Kasus ini bukan sekadar teguran biasa, kerugian yang ditimbulkan dari tidak terbayarnya royalti ini ditaksir mencapai angka miliaran rupiah.
Perhitungan fantastis ini bukan tanpa dasar, pihak pelapor mengacu pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.
Formula perhitungannya spesifik untuk kategori restoran: jumlah kursi dalam satu gerai dikalikan Rp120.000, lalu dikalikan satu tahun dan jumlah total outlet yang ada.
Dengan puluhan outlet Mie Gacoan yang tersebar, maka mudah membayangkan besarnya kerugian yang ditimbulkan selama direktur tidak membayarkan royalti atas penggunaan lagu secara komersial.
Menariknya sampai sekarang, penyidikan Polda Bali baru menetapkan satu orang sebagai tersangka.
Baca Juga: 5 Bukti Nathalie Holscher Sadar Penuh saat Sindir Erika Carlina, Sudah Direncanakan?
Beban tanggung jawab hukum ini untuk sementara hanya dipikul sendirian oleh sang direktur.

"Hingga saat ini, hasil penyidikan menunjukkan bahwa tanggung jawab penuh dalam kasus ini berada pada direktur," tegas Aryasandi.
Peringatan Keras untuk Industri F&B dan Perdebatan Netizen
Kasus Mie Gacoan ini seolah menjadi tamparan keras dan sinyal peringatan bagi ribuan kafe, restoran, dan gerai F&B lainnya di seluruh Indonesia.
Praktik memutar musik dari platform streaming populer atau playlist pribadi untuk kepentingan komersial tanpa lisensi sebenarnya cukup banyak ditemui.
Banyak pengusaha mungkin tidak sadar atau memilih abai terhadap kewajiban membayar royalti.
Polemik ini dengan cepat memanaskan lini masa media sosial dan memicu perdebatan sengit di kalangan netizen.
Respons yang muncul pun beragam, mencerminkan dilema yang ada di masyarakat. Sebagian khawatir langkah hukum ini justru akan membuat musik lokal semakin sepi peminat di ruang publik.
"Kalau gini terus mah musik Indonesia jadi sepi anjir," kata @xnisaa***.
"Dimulainya musik Indonesia gak ada peminatnya," timpal @jackcfr***.
Di sisi lain, ada suara yang menuntut keadilan yang merata dan mengkritik kinerja Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) itu sendiri.
Mereka merasa Mie Gacoan hanya dijadikan "tumbal" oleh LMK, sedangkan banyak sekali tempat makan yang mungkin memutar lagu secara komersial tanpa membayar royalti.
"LMK mestinya laporin juga semua resto, warung, kafe yang ngelanggar gituan biar adil. Jangan cuman satu doang yang dijadiin tumbal. Enak aja yang salah ramai-ramai tapi yang kena cuman satu doang. Sama LMK juga jangan sok bersih. Duit hak komposer yang lu pegang kalau diaudit bisa kelar lo," tulis akun @hila**.
Tak ketinggalan, komentar bernada pragmatis dan humoris pun muncul sebagai solusi alternatif di tengah panasnya perdebatan.
"Paling bener muter murotal, free seumur hidup," celetuk @negarapasun***.