Kini, Acha Septriasa seolah sedang dalam misi untuk "menemukan kembali sebagian diri yang hilang".
Ia memilih untuk menjalani hidup yang lebih lambat (slow living), fokus pada kesehatan mental dan membesarkan putrinya.
Langkah dewasanya untuk berkomitmen pada pola asuh bersama atau co-parenting menunjukkan prioritas utamanya adalah kesejahteraan sang anak di atas konflik pribadi.
Ini menjadi pesan kuat bahwa akhir dari sebuah pernikahan tidak harus menjadi akhir dari sebuah keluarga.
Kisah Acha Septriasa menjadi pengingat pahit sekaligus pelajaran berharga.
Kejujurannya yang rentan membuka mata banyak orang bahwa di balik senyum di depan kamera, ada pergulatan manusiawi yang nyata. Pernikahan, pada akhirnya, adalah tentang bagaimana dua individu bisa
tumbuh bersama tanpa harus kehilangan diri mereka masing-masing.
Apakah kamu pernah merasakan hal yang sama seperti Acha Septriasa dalam sebuah hubungan?
Menurutmu, bagaimana cara terbaik untuk tetap menjadi "diri sendiri" setelah menikah? Bagikan ceritamu di kolom komentar!
Baca Juga: Acha Septriasa Buka Suara soal Nafkah Rp1 Juta: Ini Menggagalkan Cita-Cita Kami...