Apakah dana tersebut digunakan secara efisien? Atau apakah sebagian besar habis untuk membayar tenaga ahli dalam jumlah besar untuk bekerja dalam tekanan waktu yang ekstrem?
3. Inisiatif Kolektif Perfiki: Ambisi yang Menjadi Pisau Bermata Dua
Fakta bahwa produser di baliknya adalah Perfiki Kreasindo (Persatuan Produser Film Indonesia) membuat kasus ini semakin kompleks. Ini bukan kegagalan satu studio komersial, melainkan sebuah inisiatif dari organisasi profesi.
Niatnya mungkin mulia: menunjukkan kemampuan kolektif industri film untuk berkontribusi pada momen kebangsaan (HUT ke-80 RI).
Namun, eksekusinya yang terburu-buru justru menjadi pisau bermata dua yang berisiko merusak citra dan kredibilitas para produser itu sendiri.
4. Salah Membaca Resepsi Publik: Nasionalisme Bukan Cek Kosong
Strategi merilis film bertema nasionalisme pada momen yang tepat adalah taktik yang sudah teruji. Namun, strategi ini memiliki syarat yakni kualitas produk harus memadai.
Para inisiator proyek ini tampaknya salah membaca audiens modern.
Penonton masa kini tidak lagi menerima nasionalisme sebagai "cek kosong" yang bisa menutupi segala kekurangan teknis dan artistik. Mereka menuntut penghormatan terhadap kecerdasan mereka melalui karya yang digarap dengan serius.
Baca Juga: Siapa Suntik Dana Rp 6,7 Miliar Film Merah Putih One For All, Benarkah 'Sosok' Ini?
5. Konsekuensi Jangka Panjang: Erosi Kepercayaan
Pelajaran paling mahal dari proyek ini adalah potensi erosi kepercayaan. Kepercayaan dari penonton terhadap film nasional, kepercayaan dari investor untuk mendanai proyek animasi, dan kepercayaan dari talenta-talenta muda untuk bergabung dalam proyek yang dikelola secara profesional.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa dalam membangun industri kreatif yang sehat dan berkelanjutan, tidak ada jalan pintas.
Reputasi yang dibangun bertahun-tahun bisa goyah hanya karena satu proyek yang salah langkah.