Lebih lanjut, Endiarto mengungkap alasan yang mendasari pembuatan film bertema kebangsaan ini.
Ternyata, film Merah Putih: One for All berangkat dari keinginan Endiarto dan tim produksi membuat karya untuk merayakan HUT ke-80 RI pada 17 Agustus 2025.
"Jadi memang kami awalnya punya satu panggilan, bagaimana kami bisa ambil bagian untuk bangsa ini khususnya di perayaan 80 tahun," bebernya.
"Apa yang bisa kami berikan? Karena kami pekerja film Indonesia, jadi kami membuat film. Kebetulan di momen 17 agustus itu kita jarang melihat event khusus untuk anak-anak di dunia film," lanjutnya.
Untuk merealisasikan niat tersebut, Endiarto bersama rekan-rekannya dari Persatuan Film Keliling Indonesia (PERFIKI) kemudian mulai berdiskusi.
Para pekerja film yang bernaung di bawah Yayasan Pusat Perfilman Usmar Ismail itu mengumpulkan gagasan sejak tahun lalu.
Berbagai ide itu mengerucut dengan keinginan membuat karya yang khusus dipersembahkan kepada bangsa Indonesia. Ide film Merah Putih: One for All akhirnya tercetus dengan rencana tayang pada 17 Agustus 2025.
Seiring waktu berjalan, mereka mulai menggarap proyek ini dengan mengajak pekerja film yang punya kesamaan visi.
Pengembangan proyek itu berjalan selama setahun sebelum akhirnya trailer tayang beberapa pekan sebelum jadwal tayang.
Baca Juga: Hanung Bramantyo Komentari Kualitas Merah Putih One For All: Ibarat Rumah, Masih Cor-coran
Namun, alih-alih mendapat sambutan positif, film Merah Putih: One For All ini malah mendapat banyak hujatan dari warganet.
Kisah tentang anak-anak dari berbagai suku yang bersatu menyelamatkan bendera nasional dianggap kurang inovatif, terutama jika dibandingkan dengan narasi karya-karya animasi lokal lain yang lebih matang.
Kontroversi ini semakin memanas ketika film ‘Merah Putih: One for All’ dibandingkan dengan film animasi lokal lainnya, seperti Jumbo.
Film tersebut dipuji karena kualitas visual dan narasi yang kuat, membuktikan bahwa Indonesia memiliki talenta dan kemampuan untuk memproduksi film animasi kelas atas.
Perbandingan ini secara tidak langsung menempatkan ‘Merah Putih: One for All’ dalam posisi yang kurang menguntungkan dan mempertegas kekecewaan publik terhadap standar kualitas yang ditampilkan.
Kontributor : Anistya Yustika