Suara.com - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haryadi B. Sukamdani, melontarkan kritik pedas terhadap cara kerja Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam penarikan dan distribusi royalti musik.
Haryadi menyebut praktik penagihan royalti yang dilakukan LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tidak sesuai prosedur.
Bahkan, dia menilai cara mereka terkesan seperti "gaya preman" karena menagih mundur sejak Undang-Undang Hak Cipta berlaku pada 2014, tanpa ada perjanjian resmi.
"Memang gaya preman. Mereka menarik mundur tagihannya sejak UU Hak Cipta berlangsung. Namanya kontrak itu harus ada invoice, ada perjanjian berlaku. Itu tidak ada," ujar Haryadi saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Salah satu kasus terbaru, kata Haryadi, terjadi di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Para pelaku usaha kafe dan hotel di sana tiba-tiba mendapat surat tagihan royalti musik, padahal LMK maupun LMKN tidak memiliki perwakilan di wilayah tersebut.
"Modelnya benar-benar ugal-ugalan. Teman-teman di Lombok marah dan minta penjelasan. Mereka kehilangan mood, terutama yang usaha kecil-kecilan. Jadi senyap, enggak ada musik," ucap dia.
Minta Pemerintah Turun Tangan
PHRI menilai pemerintah seharusnya hadir mengawasi masalah royalti musik, bukan menyerahkan sepenuhnya kepada LMKN.
Baca Juga: Minta WAMI Diaudit, Ari Lasso Colek 'Utusan Khusus' Yovie Widianto dan Raffi Ahmad
Menurut Haryadi, Undang-Undang sudah jelas mengatur bahwa biaya dan administrasi royalti masuk ke Kementerian Hukum dan HAM, sehingga negara memiliki tanggung jawab.
"Kok kayak lepas semua ke LMKN. Sekarang yang kami lihat dilepas gitu aja. Kamu berantem dengan LMKN, kehadiran negara tidak dirasakan," tegas Haryadi.
Isu royalti musik ini kembali jadi sorotan publik setelah kasus yang menjerat salah satu petinggi Mie Gacoan pada Agustus 2024 lalu.
Dia dilaporkan Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) atas dugaan pelanggaran hak cipta musik.
Kasus tersebut akhirnya selesai setelah Mie Gacoan berdamai dan membayar ganti rugi sebesar Rp2,2 miliar.
Sejak itu, sejumlah pelaku usaha menjadi lebih waspada, bahkan memilih tidak memutar musik sama sekali demi menghindari masalah hukum.