Sementara itu yang paling terbaru adalah film animasi Merah Putih One For All yang menuai hujatan dan kritikan karena kualitasnya dicap buruk.
Film berdurasi 70 menit ini menceritakan misi delapan anak dari berbagai suku untuk menemukan bendera pusaka yang hilang.
Sebuah tema yang sangat nasionalis. Namun, trailer yang dirilis justru memicu kekecewaan. Kualitas visualnya dinilai seadanya dan memunculkan dugaan bahwa film ini dibuat dengan aset digital yang sudah jadi atau dibeli, bukan dibuat dari nol.
Seorang animator bahkan menyoroti bagaimana mungkin film berdurasi 70 menit dapat digarap dalam waktu yang sangat singkat, sementara untuk membuat animasi 10 menit dengan kualitas baik bisa memakan waktu hingga dua tahun.
Produser film, Toto Soegriwo, telah membantah tuduhan menerima dana dari pemerintah, namun kritik terhadap kualitas karya tetap tak terhindarkan.

Si Huma dengan segala keterbatasan teknologi tahun 80-an, menunjukkan sebuah standar, semangat, dan keseriusan dalam berkarya.
Setiap gambarnya adalah hasil goresan tangan, sebuah bukti dedikasi untuk melahirkan sesuatu yang baru dan mendidik bagi bangsa.
Melihat Si Huma begitu bagus di tahun itu, banyak netizen yang jadi membanding-bandingkan dengan animasi kontroversial Merah Putih One For All
"Masih bagusan itu, walaupun itu produksi di tahun 83, tapi lebih bagus ini ketimbang yang onoh ngebet pengen animasi 3D tapi hasilnya berantakan," komentar netizen meski tak menyebut judul.
Baca Juga: Komentari Kualitas Merah Putih One For All, Ifan Seventeen Ajak Masyarakat Tunggu Film Animasi PFN
"Untuk zaman itu animasi ini udah se-level dengan Doraemon," sanjung netizen lain.
"Masih bagusan ini sumpah walo pun kartun tahun jadul dari pada yang kemarin," tambah lainnya.
"Bagusan ini daripada yang bakal tayang di bioskop nanti," celetuk yang lain.
Komentar itu muncul karena Merah Putih One For All yang hadir di era kemudahan digital, justru meninggalkan kesan terburu-buru dan memicu perdebatan tentang integritas proses kreatifnya.
Perbandingan kualitas antara keduanya terasa seperti langit dan bumi.
Pada akhirnya, Si Huma yang berusia lebih dari 40 tahun tidak hanya menjadi penanda sejarah, tetapi juga pengingat tentang standar kualitas dan semangat berkarya yang seharusnya terus dijaga.