Suara.com - Polemik royalti musik untuk kafe, restoran, dan hotel kian memanas. Imbasnya, banyak pelaku usaha memilih tak lagi memutar musik demi menghindari kewajiban membayar royalti yang dianggap membebani.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haryadi B. Sukamdani, mengungkap langkah strategis yang akan diambil.
Dia menyebut pihaknya segera menjalin diskusi dengan musisi ternama yang tergabung dalam Asosiasi Komposer Indonesia (AKSI) dan Vibrasi Suara Indonesia (VISI).
“Saya sedang menjalin komunikasi dengan Piyu via AKSI dan Armand dengan VISI, mau gimana, saya user, kami punya keinginan apa,” kata Haryadi saat ditemui di Grand Sahid Jaya, kawasan Sudirman, Jakarta Selatan pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Haryadi menambahkan, hasil pertemuan itu nantinya akan diumumkan ke publik.
![Piyu dan Ahmad Dhani menggelar forum diskusi bersama Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) dan perangkat penyelenggara konser di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (28/2/2025). [Suara.com/Adiyoga Priyambodo]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/28/32916-piyu-dan-ahmad-dhani.jpg)
“Saya mau dorong gimana? Habis itu akan umumkan ke publik,” ujarnya.
Tak berhenti di situ, PHRI juga menyiapkan langkah politik dengan mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengajukan revisi Undang-Undang Hak Cipta.
“Kami mau ke DPR, mau revisi UU itu,” tegasnya.
Haryadi juga menyoroti minimnya peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah royalti ini.
Baca Juga: RESMI: Ahmad Dhani Bagikan Link Agar Kafe & Resto Bisa Putar Lagu Dewa 19 Gratis
Menurutnya, negara seharusnya hadir dan bertanggung jawab, bukan sekadar menyerahkan persoalan ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Kok kayak lepas semua ke LMKN. Padahal di undang-undang jelas, mereka mengutip biaya, pencatatan, administrasi masuk ke Kementerian Hukum. Harusnya ada tanggung jawabnya,” jelas Haryadi.
“Sekarang yang kami lihat dilepas gitu aja. Kamu berantem dengan LMKN. Kehadiran negara tidak dirasakan,” imbuhnya.
Polemik royalti musik ini mencuat setelah salah satu petinggi Mie Gacoan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pelanggaran hak cipta musik.
Laporan tersebut diajukan Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) pada 26 Agustus 2024.
Kasus itu berakhir damai setelah Mie Gacoan membayar Rp 2,2 miliar sebagai bentuk penyelesaian.