Suara.com - Perbedaan biaya produksi antara film animasi Indonesia dan Jepang kembali menjadi sorotan di kalangan pecinta film.
Dua judul yang tengah ramai diperbincangkan adalah Merah Putih: One For All dan Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba Infinity Castle.
Keduanya sama-sama mengusung animasi dengan skala ambisius.
Namun latar belakang pendanaan dan hasil yang dicapai memiliki jurang perbedaan yang sangat lebar.
Merah Putih: One For All Digarap Tanpa Dana Miliaran
Film Merah Putih: One For All menjadi sorotan karena kabar biaya produksinya yang disebut mencapai Rp6,7 miliar.
Namun, kabar tersebut dibantah langsung oleh sutradara sekaligus produser eksekutif Endiarto.

Ia menegaskan bahwa proyek ini murni digarap secara gotong royong tanpa dana besar.
"Kita ini sifatnya proyek gotong royong karena nggak ada dana, nggak ada budget. Ditanya berapa budget-nya, budget-nya nggak ada, budget-nya itu spirit,” ujar Endiarto.
Baca Juga: Apakah Suno AI Berbayar? Diduga Dipakai untuk OST Film 'Merah Putih One For All'
Proyek animasi ini dimulai pada Agustus tahun lalu.
Sejak awal, Endiarto mengakui tidak bisa menjanjikan bayaran kepada kru maupun pihak yang terlibat.
Dia hanya mengajak semua pihak untuk ikut menciptakan karya animasi yang tayang bertepatan dengan HUT ke-80 Republik Indonesia.
"Nggak ada catatan angka karena dari awal kita tidak dimulai dari angka, tapi niat hati masing-masing," ucapnya.
Endiarto menilai jika benar ada dana Rp6,7 miliar, filmnya bisa tayang di 400 layar sekaligus.
"Kalau ada (Rp6,7 miliar), hari ini bisa tayang 400 layar. Biaya yang paling gede buat kami yang tidak bisa dibayar terima kasih apa? DCP sama poster," ungkapnya.
Film ini tidak mendapatkan pendanaan dari pemerintah.
Meski sempat mengajukan audiensi ke Kementerian Ekonomi Kreatif dan Kementerian Kebudayaan, hasilnya hanya berupa apresiasi lisan.
"Ketika nerima kami audiensi, dia ngomong hanya terima kasih. Kementerian Kebudayaan juga begitu. Ya sudah," kata Endiarto.
Meski tanpa dukungan dana, Endiarto tidak merasa kecewa.
Tujuan utamanya adalah berkarya dan memberikan warna baru di perfilman tanah air melalui animasi bertema kebangsaan.
Merah Putih One For All tayang bioskop seluruh Indonesia mulai 14 Agustus 2025.
Sayangnya, film ini tayang terbatas karena hanya mendapat jatah belasan layar.
Demon Slayer: Infinity Castle dengan Budget Fantastis

Berbeda jauh dengan Merah Putih: One For All, film Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba Infinity Castle memiliki biaya produksi yang sangat besar.
Total anggaran yang dihabiskan mencapai sekitar Rp6,3 triliun.
Proyek ini digarap oleh studio Ufotable selama 3,5 tahun.
Sebagai perbandingan, satu episode serial Demon Slayer biasanya menghabiskan biaya Rp1,1 hingga Rp1,2 miliar.
Pada arc Infinity Castle, biaya produksinya bahkan meningkat menjadi sekitar Rp1,5 miliar per episode.
Angka ini mencerminkan ambisi Ufotable untuk mempertahankan kualitas animasi di level tertinggi.
Biaya besar ini berbuah manis dengan pencapaian rekor box office yang luar biasa di Jepang.
Pada hari pembukaan, film ini meraih pendapatan sekitar Rp168,1 miliar dengan penjualan 1,15 juta tiket.
Hari kedua mencatat Rp188,8 miliar dari 1,26 juta tiket, dan hari ketiga mencetak rekor baru dengan Rp208,4 miliar dari 1,42 juta tiket.
Total tiga hari pembukaan mencapai Rp566,9 miliar dari 3,84 juta tiket, menjadi pekan pembukaan terbesar sepanjang sejarah box office Jepang.
Pada hari keempat yang bertepatan dengan libur nasional, film ini menambah Rp183,6 miliar dari 1,32 juta tiket.
Dalam delapan hari, total pendapatan menembus lebih dari Rp1,04 triliun dengan penjualan 7,5 juta tiket.
Film ini menjadi yang tercepat di Jepang yang mampu mencapai angka tersebut, mengalahkan rekor Mugen Train.
Dalam 17 hari, pendapatannya mencapai sekitar Rp1,25 triliun dengan 12,55 juta tiket terjual.
Capaian ini membuatnya masuk ke daftar 10 besar film terlaris sepanjang masa di Jepang.
Film Demon Slayer: Infinity Castle segera tayang di Indonesia mulai 15 Agustus 2025.
Jadi, pendapatan film ini jelas akan semakin bertambah. Kira-kira bakal balik modal nggak, ya?
Kontributor : Chusnul Chotimah