Suara.com - Film Merah Putih One for All resmi tayang perdana pada 14 Agustus 2025 dan langsung mencuri perhatian publik.
Bukan karena prestasi gemilang, melainkan angka penonton yang ternyata di luar dugaan.
Menurut data dari Cinepoint, film ini berhasil meraih 720 penonton di hari pertama penayangannya.
Jumlah ini tentu saja memicu beragam komentar di media sosial.
"Film itu dapat 720 mengejutkan sih," tulis seorang netizen dengan nada setengah tak percaya.
Ada juga yang menganggap pencapaian ini sebagai bentuk keberanian.
Warganet bahkan membandingkannya dengan film lain yang sebelumnya memegang "rekor" minim penonton.
Meski menuai banjir kritik sebelum penayangan, ternyata Merah Putih One for All mampu melampaui catatan hari pertama Putri Bintang Lima yang rilis pada 2024.

Saat itu, film yang dibintangi Chicco Kurniawan dan Sitha Marino tersebut hanya mampu meraih 471 penonton pada hari pertama.
Baca Juga: Film Merah Putih One For All Tayang di Mana Saja? Cek Daftar Bioskopnya
Perbandingan ini semakin menarik karena Putri Bintang Lima selama masa tayangnya di bioskop hanya berhasil meraih total 673 penonton.
Film tersebut mengantongi pendapatan kotor sekitar Rp26,92 juta, angka yang sangat kecil untuk standar produksi layar lebar di Indonesia.
Namun, capaian 720 penonton Merah Putih One for All bukan berarti bebas dari sorotan tajam publik.
Justru, kontroversi yang melingkupi film ini membuatnya semakin dibicarakan.
Warganet menilai, rasa penasaran mungkin menjadi salah satu alasan mengapa angka hari pertamanya terbilang "lumayan" dibanding prediksi.
Film ini menghadapi kritik keras dari berbagai sisi. Salah satu sorotan utama adalah kualitas visual yang dianggap jauh dari standar film layar lebar.
Banyak yang menyamakan kualitas animasinya dengan storyboard bergerak atau bahkan tugas sekolah yang belum rampung.
Perbandingan dengan film animasi Indonesia lain pun kerap memojokkan Merah Putih One for All.
Kontroversi semakin menguat ketika publik mengetahui bahwa film ini memiliki anggaran produksi sekitar Rp6,7 miliar.
Angka itu dinilai tidak sebanding dengan hasil akhir yang ditampilkan, meskipun sudah dibantah.
Sutradara Hanung Bramantyo bahkan ikut menyindir, bahwa dengan biaya sebesar itu seharusnya bisa menghasilkan karya yang jauh lebih layak.
Beberapa kritikus menduga ada kemungkinan pengerjaan terburu-buru atau bahkan penyimpangan dalam penggunaan dana.
Tak berhenti di situ, muncul pula tuduhan penggunaan aset digital tanpa izin.
![Endiarto, produser eksekutif sekaligus sutradara film Merah Putih One For All saat ditemui di kantornya di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada Selasa, 12 Agustus 2025. [Suara.com/Tiara Rosana]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/12/21672-endiarto-produser-eksekutif-sekaligus-sutradara-film-merah-putih-one-for-all.jpg)
Sejumlah aset animasi, mulai dari latar hingga karakter, disebut diambil dari toko digital seperti Daz3D tanpa modifikasi memadai.
Seorang kreator 3D asal Pakistan bahkan mengklaim enam karakter buatannya digunakan tanpa sepengetahuannya.
Tanggapan dari produser film, Toto Soegriwo, justru menambah bara dalam api kontroversi.
Melalui media sosial, dia menulis, "Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain."
Kalimat ini dianggap meremehkan kritik publik dan membuat kemarahan warganet semakin memuncak.
Di sisi lain, isu keterlibatan pemerintah juga sempat mewarnai pemberitaan.
Awalnya, ramai dugaan bahwa Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ikut mendanai produksi film ini.
Namun, Wamenparekraf membantah keras kabar tersebut dan menyatakan pihaknya hanya memberikan masukan tanpa bantuan dana sepeser pun.
Kombinasi antara kontroversi, rasa penasaran penonton, dan pembicaraan masif di media sosial membuat Merah Putih One for All menjadi sorotan panas.
Angka 720 penonton di hari pertama terlihat kecil untuk ukuran film nasional.
Namun dalam konteks film ini, capaian tersebut justru dianggap "luar dugaan" oleh banyak pihak.
"Mungkin 720 orang itu ingin tahu seperti apa rasanya menonton film yang bikin satu negeri ribut," kata warganet.
Dengan begitu banyak perdebatan, film ini tampaknya akan terus menjadi bahan pembicaraan.
Entah karena kualitasnya, kontroversinya, atau karena statusnya sebagai salah satu fenomena unik di dunia perfilman Indonesia.
Kontributor : Chusnul Chotimah