- Dokumenter Swaradwipa karya Titi Radjo Padmaja merekam perjalanan bunyi Jungga di Sumba yang terancam punah.
- Film ini menjadi debut penyutradaraan panjang Titi, sekaligus wujud kecintaannya pada dokumenter dan musik tradisi.
- Melalui penayangan perdana di JAFF, Swaradwipa diharapkan menumbuhkan penghargaan terhadap warisan budaya dan keberagaman bangsa.
Suara.com - Film dokumenter terbaru karya musikus sekaligus aktris Titi Radjo Padmaja berjudul "Swaradwipa" resmi melakukan penayangan perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-20 pada Sabtu (6/12/2025).
Film ini merekam perjalanan intim tentang bagaimana suara sebuah bangsa kepulauan berusaha tetap hidup di tengah arus perubahan zaman.
Berangkat dari denting Jungga, alat musik tradisional Sumba yang kian jarang dimainkan, "Swaradwipa" menyoroti benturan nilai lama dan baru dalam keseharian masyarakat.
Sosok-sosok seperti Ata Ratu, Rambu Ester, Pura Tanya, dan Haing, para pemain Jungga yang masih tersisa, menjadi wajah perjuangan menjaga warisan budaya agar tidak hilang ditelan waktu.
Cinta Pertama pada Bunyi Jungga

Ketertarikan Titi bermula dari sebuah video Ata Ratu yang ia temukan. Dari sana, ia jatuh cinta pada bunyi Jungga dan mulai menelusuri lebih dalam.
"Pengalaman pertama saya ke Sumba pada 2008 meninggalkan kedekatan yang tidak pernah hilang terhadap tanah, budaya, dan masyarakatnya," ungkap Titi di Studio Premiere Empire XXI Jogja.
Saat mengetahui Jungga berada di ambang kepunahan, ia merasa perlu kembali untuk merekam suara yang penting bagi banyak orang di sana.
Debut Penyutradaraan Panjang
Baca Juga: Sinopsis Stolen: Heist of The Century di Netflix, Wawancara Perampok Berlian Legendaris
Swaradwipa menjadi debut Titi sebagai sutradara film panjang. Ia juga bertindak sebagai penata musik sekaligus produser bersama Nurman Hakim.
Meski tidak tampil sebagai aktor, proses dokumenter ini justru membuka ruang baru bagi Titi. Tanpa tuntutan berakting, Titi bisa mengamati manusia apa adanya.
Kecintaannya pada dokumenter sejak lama, terinspirasi dari film seperti Shape of the Moon, Jago, dan The Music of Strangers, membuat genre ini terasa paling natural dalam perjalanan kreatifnya.
Titi pun mengungkap alasannya memulai perjalanan film di JAFF ke-20. Menurutnya, ini adalah momen paling tepat untuk mengenalkan karya perdananya sebagai sutradara.
"JAFF menjadi ruang yang paling tepat. JAFF dikenal sebagai rumah bagi film dokumenter dan kisah budaya lokal, memberikan panggung bagi suara-suara yang sering tidak terdengar, terutama dari Indonesia Timur," ujarnya.
"Senang sekali bisa membawa Swaradwipa ke JAFF, terasa seperti mengembalikan cerita ini ke tempat yang paling hangat menerima dan merayakannya," tandasnya.