Suara.com - Polemik rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk mencantumkan label BPA pada air galon masih terus berlanjut. Kini Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mendesak Presiden Joko Widodo turun tangan menyelamatkan anak-anak Indonesia dari bahaya Bisfenol A atau BPA—bahan.
Seperti diketahui, BPA merupakan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan—pada galon berbahan polikarbonat (bahan plastik keras).
"Kami sudah bersurat melalui Sekretariat Negara, meminta kesempatan untuk menjelaskan hal ini langsung ke Presiden," kata Arist dalam keterangannya baru-baru ini.
"Intinya negara tidak boleh kalah oleh industri. Karena itu, rancangan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang pelabelan risiko BPA perlu segera disahkan."

Dalam sejumlah pemberitaan Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia, organisasi induk industri air kemasan, termasuk yang gencar menolak lahirnya peraturan pelabelan risiko BPA. A
Dalam draft peraturan BPOM, dipublikasikan ke khalayak luas sejak November 2021, produsen galon yang menggunakan kemasan plastik keras polikarbonat wajib mulai mencantumkan label "Berpotensi Mengandung BPA" kurun tiga tahun tiga tahun sejak peraturan disahkan.
Sementara itu, produsen yang menggunakan kemasan selain plastik polikarbonat diizinkan memasang label "Bebas BPA".
Sekaitan itu, Kepala BPOM, Penny K. Lukito, pada 21 Maret, meyakinkan rencana pelabelan risiko BPA sama sekali tidak bertujuan merugikan pelaku usaha. Justru, katanya, kebijakan itu untuk melindungi industri air kemasan dari tanggung jawab (liability) di masa datang, senyampang memberikan perlindungan kesehatan ke khalayak luas.
"Aspek keamanan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) terkait dengan potensi resiko kesehatan konsumen harus menjadi prioritas" kata Penny.
Baca Juga: Kabar Baik! Vaksin Sinopharm Mendapat Izin BPOM untuk Booster Heterolog
Bagi Arist, penegasan BPOM tersebut seharusnya mendorong semua kalangan untuk bersama-sama memikirkan potensi bahaya BPA pada kesehatan masyarakat luas pada jangka panjang.
"Kalau industri AMDK tidak terjaga dengan baik, dampaknya bakal terasa pada anak-anak dan orang dewasa," katanya. "Dalam perspektif itu lah, saya katakan industri harus patuh dan negara harus betul-betul menyelamatkan anak-anak dari bahaya BPA."
Dalam diskusi yang sama, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, melihat pelabelan risiko BPA sebagai wujud tanggung jawab pemerintah dalam memastikan terpenuhinya hak masyarakat atas produk yang aman untuk dikonsumsi.
"Rancangan peraturan pelabelan itu sifatnya memperkuat regulasi yang sudah ada," katanya.
Menurut Tulus, industri keliru bila sampai menganggap BPOM tak perlu lagi merevisi regulasi terkait risiko BPA pada kemasan galon guna ulang.
"Ambang batas migrasi BPA pada galon guna ulang yang ditetapkan BPOM selama ini bukan harga mati, bisa diperbaharui untuk peningkatan perlindungan konsumen dan agar sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi," katanya. "Jangankan peraturan BPOM, undang-undang sekalipun masih bisa direvisi. Jadi kenapa industri mesti takut?"