Suara.com - Awal pekan ini Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuat pernyataan kontroversial. Dia meminta dokter-dokter di AS tidak meresepkan obat pereda nyeri Tylenol kepada para ibu hamil karena obat tersebut bisa bikin autis.
Ibu hamil, dalam lanjutan pernyataan Trump, hanya boleh meminumnya ketika mengalami demam tinggi. Namun, para tenaga medis dengan tegas menolak ucapan Trump tersebut.
Sebaliknya, sebagian dokter mewanti-wanti bahwa pernyataan Trump berbahaya karena berpotensi hoaks.
Pasalnya, Tylenol yang merupakan nama lain dari obat paracetamol tetap menjadi obat pereda nyeri paling aman yang tersedia bagi ibu hamil. Lantas apa itu Tylenol? Berikut penjelasannya.
Melalui laman resminya, Tylenol membuat pernyataan bahwa merek ini menjadi obat yang paling banyak diteliti di seluruh dunia. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa Tylenol aman digunakan sesuai petunjuk, baik untuk ibu hamil, bayi, dan anak-anak.
Lebih dari satu dekade penelitian yang ketat, didukung oleh profesional medis terkemuka, mengkonfirmasi bahwa tidak ada bukti kredibel yang mengaitkan asetaminofen yang terkandung dalam Tylenol dengan autisme.
Sebaliknya, acetaminophen digunakan di seluruh dunia sebagai pertolongan pertama mengurangi rasa sakit dan demam. Demam tinggi dan rasa sakit merupakan risiko pada kehamilan, terutama di trimester pertama.

Tylenol juga membuat pernyataan resmi dalam website Autism Science Foundation. Yayasan yang menaungi anak-anak dengan autisme mengaku sangat khawatir dengan pernyataan Presiden Trump dan Menteri Kesehatan AS Robert F. Kennedy.
“Hubungan antara asetaminofen dan autisme masih berdasarkan riset yang terbatas, saling bertentangan, dan nggak konsisten. Jadi kesimpulannya masih terlalu dini,” ujar Chief Science Officer di Autism Science Foundation Dr. Alycia Halladay.
Baca Juga: Presiden Trump Patok Rp1,6 Miliar untuk Biaya Visa Pekerja Khusus, Ini Alasannya
Sebaliknya, pernyataan tidak berdasar bisa merusak pemahaman mengenai kesehatan masyarakat sekaligus menyesatkan keluarga yang sebenarnya butuh informasi yang jelas dan faktual.
Pernyataan ngawur tidak sekali ini saja terjadi. Bertahun-tahun, Menteri RFK dan Presiden Trump percaya kalau vaksin menyebabkan autisme, padahal sains jelas-jelas menunjukkan tidak ada hubungannya.
“Kami juga bingung kenapa pengumuman ini disampaikan hari ini dan dari mana kesimpulannya muncul,” tambah Presiden Autism Science Foundation Alison Singer.
Tidak ada data atau studi baru yang dipresentasikan, tidak ada riset baru yang terbit, serta tidak ada konferensi medis yang membahas hal ini. Presiden Trump hanya mengatakan yang dia pikirkan dan rasakan, tanpa bukti ilmiah.
“Apa yang disampaikan hari ini berbahaya,” tambah Dr. Halladay.
Trump dan Kennedy meremehkan betapa kompleksnya autisme, dan mengatakan angka autisme bisa turun kalau ibu hamil berhenti minum Tylenol dan kalau vaksin anak dicicil.
Mereka mengklaim tidak ada dampak buruk dari itu, padahal jelas bertentangan dengan praktik kesehatan publik yang sudah lama terbukti aman.
Sebaliknya, pernyataan Trump malah mengalihkan perhatian dari riset ilmiah penting untuk benar-benar memahami penyebab autisme dan mengembangkan dukungan serta intervensi yang lebih baik untuk orang autistik dan keluarganya.
Autisme tidak hanya disebabkan oleh satu hal. Sebaliknya, autisme merupakan kombinasi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan.
Sains menunjukkan faktor genetik punya peran paling besar; ratusan gen sudah dikaitkan dengan autisme, dan perubahan genetik, baik bawaan maupun spontan, bisa memengaruhi perkembangan otak.
Faktor lingkungan juga penting, terutama saat hamil, misalnya usia orang tua, kelahiran prematur atau berat lahir rendah, dan kondisi yang memengaruhi otak janin seperti demam atau sakit saat hamil.
Ilmu pengetahuan saat ini menunjukkan autisme muncul dari interaksi kompleks antara kerentanan genetik dengan faktor lingkungan selama perkembangan otak.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni