- Dokter ahli kanker membahas fenomena pasien yang berobat ke luar negeri lalu melanjutkan terapi di Indonesia.
- dr. Ronald Alexander Hukom, MHSc, SpPD, K-HOM, menjelaskan pengobatan kanker memakan waktu bertahun-tahun sehingga banyak yang memilih pulang untuk terapi.
- Bukan cuma kembali berobat ke Indonesia, dr. Ronald menyebut pada pasien ini kerap memanfaatkan program BPJS.
Suara.com - Kisah menarik diungkap dokter ahli kanker tentang fenomena pasien yang berobat ke luar negeri, namun akhirnya kembali menjalani perawatan di dalam negeri karena lamanya proses pengobatan.
Ketua Perhimpunan Hematologi dan Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) Cabang Jakarta, dr. Ronald Alexander Hukom, MHSc, SpPD, K-HOM, menjelaskan pengobatan kanker memakan waktu bertahun-tahun. Inilah sebabnya pasien dan keluarga harus konsisten serta berkomitmen untuk terus melanjutkan terapi.
Bahkan, menurut dr. Ronald, keputusan kembali melanjutkan pengobatan di Tanah Air banyak terjadi pada keluarga berkecukupan dengan salah satu anggotanya menderita kanker.
“Banyak juga yang kembali karena pengobatan kanker itu panjang, berbulan-bulan, bertahun-tahun, masih harus periksa ke luar negeri sampai akhirnya dianggap melelahkan dan biayanya tinggi,” ungkap dr. Ronald dalam perhelatan Role of Internist in Cancer Management (ROICAM) 12 di Jakarta, Minggu (28/9/2025).
Bukan cuma kembali berobat ke Indonesia, dr. Ronald menyebut pada pasien ini kerap memanfaatkan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebab, selain pengobatannya panjang, kanker juga kerap memakan biaya cukup besar.
Belum lagi, kata dr. Ronald, jika pasien berobat ke luar negeri maka mereka membutuhkan pendampingan keluarga. Kondisi ini membuat pengobatan menjadi lebih merepotkan.
“Buat pasien kanker, berobat ke luar negeri cukup merepotkan. Pengobatan butuh waktu lama, tidak selesai seminggu atau dua minggu, tapi bisa berbulan-bulan. Keluar negeri itu memberatkan sebagian dari mereka sehingga akhirnya kembali ke Indonesia,” jelasnya.
“Di RS Kanker Dharmais banyak pasien yang kembali dari luar negeri dan ingin melanjutkan pengobatan di Indonesia,” sambung dr. Ronald.
Adapun alasan pasien memilih berobat ke luar negeri biasanya karena fasilitas dan pelayanan dianggap lebih baik. Jumlah pasien kanker yang berobat ke luar negeri, menurut Ronald, berkisar antara 10 hingga 20 persen dari total kasus.
Baca Juga: Mengenal Osteosarcoma, Kanker Tulang Ganas yang Mengancam Nyawa Anak dan Remaja
Dokter yang juga pemateri dalam ROICAM 12 bertema Embracing the Future: Synergy among Healthcare Professionals and Stakeholders in Cancer Management pada 28-29 September 2025 ini mengatakan, banyak pasien yang awalnya dibiayai keluarga untuk berobat ke luar negeri. Namun, karena keterbatasan dana, biaya itu lama-kelamaan terkuras.
“Sebagian dibantu program BPJS Kesehatan. Karena untuk obat kanker, BPJS sudah cukup memadai, meskipun mungkin tidak selengkap di luar negeri,” ungkapnya.
Meski begitu, dr. Ronald mengakui pengobatan kanker di Indonesia masih perlu perbaikan. Pasalnya, mayoritas pasien baru ditemukan dalam kondisi stadium 3 dan 4, yang artinya peluang harapan hidup semakin kecil.
Padahal, jika kanker ditemukan sejak stadium dini, yaitu stadium 1 dan 2, maka pasien memiliki harapan hidup yang jauh lebih besar.
“Misalnya kanker yang banyak ditemukan seperti kanker payudara atau kanker paru. Saat ditemukan di stadium 2, peluang harapan hidup bisa 80 persen, jauh lebih tinggi dibanding stadium 4. Kalau stadium 4, untuk bertahan dalam 5 tahun tidak sampai 30 persen,” jelas dr. Ronald.