- BRIN melakukan uji laboratorium terhadap 60 sampel rokok elektrik dan tiga rokok konvensional, menyoroti sembilan senyawa toksik utama.
- Hasil menunjukkan kadar zat berbahaya pada rokok elektrik jauh lebih rendah, namun beberapa produk memiliki ketidaksesuaian antara label dan kandungan sebenarnya.
- Penelitian ini menjadi dasar ilmiah bagi kebijakan pengendalian tembakau yang seimbang, melindungi kesehatan masyarakat sekaligus memperhatikan inovasi industri.
Suara.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memaparkan hasil uji laboratorium pertama di Indonesia yang secara komprehensif meneliti kandungan zat berbahaya dalam rokok elektrik berbasis cairan.
Penelitian bertajuk “Evaluation of Laboratory Tests for E-Cigarettes in Indonesia Based on WHO’s Nine Toxicants” ini diumumkan dalam konferensi pers di Hotel Borobudur, Jakarta.
Salah satu peneliti BRIN, Prof. Bambang Prasetya, menjelaskan bahwa penelitian dilakukan terhadap 60 sampel rokok elektrik dari berbagai merek dan kadar nikotin, serta tiga jenis rokok konvensional sebagai pembanding.
Fokus utama riset ini adalah sembilan senyawa toksik yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti formaldehida, asetaldehida, akrolein, karbon monoksida, benzena, 1,3-butadiena, benzo[a]pyrene, serta dua nitrosamin spesifik tembakau (NNN dan NNK).
Hasilnya menunjukkan bahwa emisi zat berbahaya dari rokok elektrik jauh lebih rendah dibanding rokok konvensional.
Misalnya, kadar formaldehida terdeteksi 10 kali lebih rendah, akrolein hingga 115 kali lebih rendah, dan benzena 6.000 kali lebih rendah. Beberapa senyawa seperti karbon monoksida, 1,3-butadiena, NNN, dan NNK bahkan tidak terdeteksi sama sekali.
“Emisi dari rokok elektrik memang mengandung zat toksik, namun kadarnya jauh di bawah rokok konvensional,” ujar Prof. Bambang.
“Meski begitu, pengawasan mutu dan standardisasi tetap sangat diperlukan agar produk yang beredar aman dan sesuai ketentuan internasional.”
Riset ini menjadi langkah awal BRIN dalam membangun data ilmiah nasional terkait produk tembakau alternatif dan teknologi nikotin di Indonesia.
Baca Juga: Rektor IPB Arif Satria Resmi Jadi Nakhoda Baru BRIN, Babak Baru Riset Nasional Dimulai
Dengan data tersebut, BRIN berharap kebijakan pengendalian tembakau bisa disusun secara proporsional dan berbasis bukti ilmiah, memperhatikan aspek kesehatan sekaligus perkembangan industri.
Dalam pemaparan lanjutan, tim peneliti BRIN — Jumper, Robert, dan Teguh — menjelaskan pendekatan riset dan data pendukungnya. Jumper menuturkan, penelitian ini tidak hanya mengandalkan data lokal, tetapi juga meninjau literatur internasional sejak 2009.
Melalui bio-genetic analysis dan bibliometric mapping, tim menemukan lebih dari 120 publikasi global yang membahas dampak kesehatan dan sosial ekonomi penggunaan rokok elektrik.
Secara global, terdapat tren menuju pengurangan risiko kesehatan melalui inovasi produk nikotin alternatif. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa menempati posisi terdepan dalam riset ini.
Namun, Indonesia dinilai perlu memperkuat riset serupa untuk memahami konteks lokal, mengingat variasi bahan dan proses produksi yang berbeda di tiap negara.
Dari sisi sosial ekonomi, Teguh menyoroti pentingnya kebijakan yang menyeimbangkan perlindungan kesehatan masyarakat dengan pertumbuhan industri yang terus berkembang.