Pada umumnya, syair-syair pengiring tari Laweut mengandung pujian-pujian kepada Allah dan salawat kepada Rasul, pesan-pesan tentang kehidupan manusia, pendidikan, dan sebagainya.
Tari ini juga biasa dilombakan. Dengan cara dua kelompok penari saling berhadapan dan beradu gerak.
Biasanya yang dinilai adalah kekompakan gerak para penari dari masing-masing kelompok, ragam gerak, penampilan, dan syair yang mengiringi tarian yang berupa kisah-kisah, kiasan-kiasan, sindiran, ataupun teka-teki.
Perubahan gerak dan komposisi menari sangat tergantung pada syair yang dilantunkan. Setiap satu syair, maka ia memiliki satu jenis gerak.
Dengan ketentuan gerak tari akan dilakukan dalam bentuk babakan, yakni berhenti pada setiap syair, lalu berlan jut pada gerak dan syair lainnya. Disertai pula dengan perubahan komposisi ragam gerak tariannya.
Pola-pola pada tari Laweut sama persis dengan pola-pola pada tari Seudati, yaitu: bersaaf (berbanjar), pha-rangkang (segi empat), dan glong (Melingkar). Adapun tahapan-tahapan pada tari Laweut adalah:
Saleum yaitu lantunan syair berisi salam dan sapaan yang dimulai oleh syeh dan kemudian dilantunkan secara bersama dan kemudian disambut lagi oleh syeh dan aneuk laweut.
Saman yaitu syair yang dimulai oleh syeh lalu diikuti oleh penari lainnya, kemudian disambut oleh aneuk laweut sambil berpantun.
Likok yaitu lantunan syair-syair yang berisikan tentang kisah-kisah ataupun peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau.
Baca Juga: Interview: Cerita Darius Sinathrya Berhasil Sembuhkan Trauma Donna Agnesia
Kisah yaitu syair yang berisikan tentang hikmah-hikmah yang dapat dipelajari dari kisah-kisah maupun peristiwa-peristiwa yang disyairkan pada likok, kadangkala juga disisipi dengan pesan-pesan pemerintah.
Lanie (ekstra) yaitu syair bebas yang sifatnya lebih pada hiburan. Lanie ini juga memegang peranan penting, lebih-lebih dalam suatu pertandingan (tunang).
Perlu diketahui, pada 2016, melalui program Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Tari Laweut telah mendapatkan upaya revitalisasi, dan pada 2018 juga telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud melalui pengajuan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh).