Praktisi: Isu Kesehatan Mental Belum Dianggap Penting di Sektor Pendidikan

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Rabu, 15 September 2021 | 10:54 WIB
Praktisi: Isu Kesehatan Mental Belum Dianggap Penting di Sektor Pendidikan
Ilustrasi Sekolah Online di Masa Pandemi. (Unsplash/Kelly Sikkema)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pembahasan tentang kesehatan mental di sektor pendidikan menurut praktisi masih belum memadai. Apalagi, terjadinya pandemi Covid-19 mengubah kebiasaan dan pola pengajaran yang dilakukan sekolah.

Menurut praktisi pendidikan dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Novi Chandra, belum diperhatikannya isu kesehatan mental terlihat dari suveri yang dilakukannya.

“Sehingga, ketika PJJ diwarnai dengan kondisi emosi negatif yang lebih besar, yakni 66 persen dirasakan siswa selama PJJ, dibuktikan dari hasil survei GSM bulan lalu, sulit bagi guru-guru untuk mendapatkan keterampilan mengajar yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut,” ujar Novi dalam keterangan resmi.

Dia menambahkan guru-guru juga mengalami perasaan yang sama atau emosi negatif karena ketidaktahuan strategi belajar yang baru, dan tidak adanya perubahan kurikulum yang mendasar dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan emosi.

Suasana pembelajaran tatap muka atau PTM di SD 11 Grogol, Jakarta Barat, Senin (30/8/2021). [ANTARA/Walda Marison]
Suasana pembelajaran tatap muka atau PTM di SD 11 Grogol, Jakarta Barat, Senin (30/8/2021). [ANTARA/Walda Marison]

Oleh karena itu, pihaknya mencoba hadir untuk menyampaikan materi tentang praktik sederhana namun fundamental yaitu pentingnya penalaran dan kesadaran diri.

“GSM ingin mengkritisi narasi pendidikan Indonesia dari hanya sebatas pencapaian PISA, yang mana menjadi kepentingan negara, bergeser ke pencapaian kepentingan anak muda di masa depan, yaitu kompetensi penalaran dan kesadaran diri. Materi-materi yang disampaikan di Kelas Sekolah Menyenangkan akan terkait dengan hal itu,” lanjut Novi.

Pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal, mengatakan dunia pendidikan perlu merespon situasi itu dengan pendekatan yang tepat. Pendidikan tidak boleh hanya menjejalkan konten pengetahuan dengan kurikulum yang padat kepada siswa. Pendidikan harus diarahkan justru untuk membangun daya kritis agar siswa mampu membedakan mana informasi yang bermutu, berguna, dan benar.

Generasi milenial dan generasi Z dianggap sebagai generasi cerdas karena mudah mendapatkan akses informasi yang berlimpah dari internet.

“Hanya saja, mereka dikhawatirkan memiliki pandangan yang semakin sempit akibar algoritma eco chamber yang dimiliki sosial media,” tambah Nur Rizal.

Baca Juga: Duh, Ahli sebut Kekurangan Zat Besi Bisa Bikin Kesehatan Mental Memburuk

Nur Rizal menegaskan bahwa permasalahan anak muda di masa depan tersebut dapat diminimalisir dengan mendapatkan keterampilan kompetensi penalaran dan kesadaran diri serta memperbanyak ruang perjumpaan lintas generasi, sehingga, cara pandang dan perilaku generasi muda dapat meluas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI