Perbedaannya juga lebih besar di antara siswa yang berkinerja lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berkinerja rata-rata.
"Kami tidak memiliki penjelasan yang sempurna untuk paradoks ini," kata rekan penulis studi Thomas Breda, dari CNRS dan Paris School of Economics, kepada AFP seperti dikutip dari Medical Daily, Selasa.
Tetapi studi menemukan dalam hal kepercayaan diri, anak laki-laki lebih cenderung belajar sains dan matematika. Menurut Breda ini menunjukkan, sebagai negara berkembang, norma-norma gender tidak hilang, tetapi mengkonfigurasi ulang.
Satu hipotesis yakni negara-negara dengan lebih banyak kebebasan pada akhirnya memberikan lebih banyak ruang bagi individu untuk jatuh kembali ke stereotip lama.
Negara-negara ini juga sangat fokus pada kesuksesan individu, dan karenanya menempatkan premi yang lebih besar pada gagasan tentang bakat itu sendiri.
Dalam masyarakat yang tidak memberikan banyak nilai pada bakat, ada lebih sedikit ruang bagi orang untuk menerapkan stereotip.
Para peneliti lebih lanjut menunjukkan ada korelasi kuat antara gagasan menjadi kurang berbakat dan tiga indikator lain yang dipelajari sebagai bagian dari survei PISA.
Semakin rendah bakat yang diyakini anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki, maka semakin rendah kepercayaan diri yang mereka miliki, kemudian semakin sedikit mereka menikmati persaingan, dan semakin kecil keinginan mereka untuk bekerja dalam pekerjaan yang didominasi laki-laki seperti teknologi informasi dan komunikasi.
Ketiga indikator tersebut sering dikatakan sebagai alasan yang dapat berkontribusi pada keberadaan langit-langit kaca yang menghalangi perempuan untuk mengakses posisi tertinggi.
Baca Juga: Top 30 Ranking Brand Reputasi Member Girl Group Bulan Maret 2022, Taeyeon Mendominasi!
Solusi yang diusulkan dari studi ini yakni "Berhentilah berpikir tentang bakat bawaan, ungkap Breda. [ANTARA]