Suara.com - Selebgram Cut Intan Nabila membuat heboh setelah mengunggah video kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Armor Toreador. Belakangan diketahui, ia sudah jadi korban KDRT sejak tahun 2020 dan selalu menyembunyikannya dari teman dan keluarga.
Tidak sedikit warganet yang menyayangkan mengapa KDRT yang dialami Cut Intan baru dilaporkan sekarang. Ada juga yang bertanya kenapa Cut Intan masih bertahan, meski sudah 4 tahun menjadi korban KDRT. Pertanyaan-pertanyaan ini membuktikan betapa rumitnya masalah yang dialami korban KDRT, termasuk alasan mereka sulit bersuara.
Enggan Bersuara, Korban KDRT Takut Kehilangan
Paula Wilcox, penulis buku Surviving Domestic Violence: Gender, Poverty and Agency (2006), menjelaskan alasan korban KDRT enggan melapor adalah takut kehilangan. Ia menjelaskan kehilangan adalah tema penting dalam memahami kompleksitas dan tantangan yang dihadapi perempuan saat mencoba mengakhiri hubungan yang penuh kekerasan. Tidak hanya kehilangan hubungan itu sendiri, banyak perempuan juga harus menghadapi kehilangan rumah, komunitas, dan bahkan identitas mereka.
Wilcox yang juga seorang dosen dan mengajar kuliah Kriminologi dan Sosiologi di Universitas Brighton, Inggris, menyebut kehilangan-kehilangan ini sering kali dilihat sebagai cerminan buruk pada perempuan yang meninggalkan hubungan tersebut. Masyarakat cenderung menyalahkan perempuan atas kekerasan yang mereka alami, dan lebih parahnya lagi, perempuan sering kali juga menyalahkan diri sendiri.
"Mereka merasa bahwa kegagalan untuk mempertahankan hubungan adalah bukti ketidakmampuan mereka dalam menjalankan peran gender yang diharapkan. Seiring berjalannya waktu, tanpa ada perubahan signifikan dalam perilaku pasangan mereka, perasaan malu dan terhina semakin mendalam, menambah beban psikologis yang sudah mereka pikul," tulis Wilcox, dikutip Kamis (15/8/2024).
Stigma Gender dalam Kasus KDRT
Secara terpisah, psikolog klinis Nirmala Ika mengungkapkan bahwa meskipun secara umum laki-laki lebih sering menjadi pelaku KDRT, hal ini tidak lepas dari pengaruh konstruksi gender serta stigma yang tertanam dalam masyarakat, terutama dalam budaya ketimuran.
"Ada nilai-nilai yang seolah-olah menempatkan perempuan itu posisinya di bawah laki-laki. Kalau mau jadi istri yang baik, ya di bawah laki-laki. Sehingga ketika si laki-laki yang tidak punya kesadaran bahwa dia sudah melakukan kekerasan, kekerasan jadi makin terjadi," jelas Nirmala dihubungi terpisah, Rabu (14/8).
Konstruksi gender yang kuat sering kali membuat laki-laki merasa superior dalam rumah tangga, sehingga mereka tidak menyadari bahwa perilaku mereka sudah masuk dalam kategori kekerasan. Hal ini diperburuk dengan pola pikir patriarki yang mempengaruhi perempuan untuk tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Perempuan, sebagai korban, sering kali merasa bahwa merekalah yang harus berubah dan mempertahankan keluarga, meskipun itu berarti mengorbankan diri mereka sendiri.
Menurut Nirmala, pemikiran ini tidak hanya datang dari laki-laki, tetapi juga tertanam dalam diri perempuan akibat didikan lingkungan dan stigma yang terus hidup di masyarakat. Sistem pendidikan dan budaya yang membedakan peran laki-laki dan perempuan semakin memperkuat pandangan bahwa perempuan harus mengutamakan keluarga di atas segalanya.
"Secara tidak sadar, masyarakat, budaya, sistem pendidikan, bahkan negara kita membedakan perempuan dan laki-laki. Di mana posisi perempuan ditempatkan sebagai yang harus mempertahankan keluarga, harus mengasuh anak. Jadi seolah-olah ketika dalam rumah tangga ada masalah, yang harus bertahan, harus berubah adalah istrinya," ujar Nirmala.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pergeseran pandangan yang menempatkan stigma, rasa malu, dan rasa bersalah pada pelaku, bukan pada perempuan yang menjadi korban. Hal ini penting agar pengungkapan kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi menjadi hal yang mempermalukan perempuan.
Dengan dukungan yang tepat, perempuan yang mengalami KDRT dapat lebih percaya diri dalam mengambil langkah untuk meninggalkan hubungan yang beracun tanpa merasa malu atau bersalah. Karena itu dibutuhkan peran aktif seluruh pihak dalam mengubah cara pandang masyarakat terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, agar mereka dapat meraih kehidupan yang lebih baik tanpa harus menanggung beban stigma yang tidak semestinya.
"Konteks sosial yang lebih luas, termasuk respons dukungan yang memadai, harus menjadi fokus utama dalam upaya menggeser wacana menyalahkan korban. Para penyintas dan pekerja di bidang kekerasan dalam rumah tangga telah menyadari pentingnya meningkatkan dukungan yang diberikan kepada perempuan yang berani keluar dari lingkaran kekerasan," tambah Wilcox.