Apa Hukum Hutang Pinjol dalam Islam? Galbay Bisa Diburu Debt Collector hingga Terancam Penjara!

Riki Chandra Suara.Com
Rabu, 30 April 2025 | 15:32 WIB
Apa Hukum Hutang Pinjol dalam Islam? Galbay Bisa Diburu Debt Collector hingga Terancam Penjara!
Pinjol. [Dok. ChatGPT]

Suara.com - Mudahnya mengakses layanan pinjaman online (pinjol) yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong banyak orang tergoda mengambil dana cepat tanpa mempertimbangkan risiko secara matang.

Padahal, di balik kemudahan pencairan dana, tersimpan berbagai konsekuensi serius yang bisa memengaruhi kondisi keuangan, kehidupan sosial, bahkan status hukum peminjam.

Fenomena ini terus berkembang, seiring peningkatan pengguna platform pinjaman digital yang memanfaatkan layanan tersebut untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif.

Tidak sedikit masyarakat yang akhirnya terperangkap utang pinjol karena lalai menghitung kemampuan untuk membayar kembali pinjaman.

Jika sudah terjerat, dampaknya bukan hanya soal beban bunga yang tinggi, tetapi juga bisa merusak reputasi dan mengancam masa depan peminjam.

Lantas, apa hukum pinjol menurut pandangan Islam?

Mengutip ulasan mui.or.id, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menegaskan bahwa pinjol haram jika mengandung unsur riba dan tekanan kepada peminjam atau nasabah.

Keputusan ini disampaikan dalam Ijtima' Ulama pada November 2021. Fatwa MUI ini terus menjadi rujukan dalam penanganan maraknya kasus pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat hingga saat ini.

Fatwa MUI menyebutkan bahwa transaksi pinjam meminjam pada dasarnya adalah akad tolong-menolong. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Al-Qur’an (QS Al-add [57]: 11) dan hadits Nabi Muhammad SAW, yang menganjurkan kebaikan dalam membantu sesama yang sedang kesulitan.

Namun, ketika transaksi itu dikomersialisasikan dengan bunga atau ancaman, maka berubah menjadi haram karena mengandung riba.

Ijtima' Ulama MUI secara eksplisit menyatakan bahwa segala bentuk pengambilan keuntungan dari transaksi pinjaman online yang memberatkan, baik bunga maupun denda keterlambatan, tergolong riba dan haram hukumnya.

Bahkan, praktik intimidasi terhadap peminjam yang gagal bayar juga dikategorikan sebagai pelanggaran syariat.

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu membayar utang adalah kezaliman,” demikian salah satu hadits yang digunakan MUI untuk memperkuat argumentasi bahwa peminjam yang memiliki kemampuan finansial, namun menunda pembayaran, juga melakukan kesalahan.

Dalam konteks pendidikan, Ketua MUI bidang Fatwa, KH Asrorun Niam, menegaskan bahwa pembiayaan pendidikan tidak semestinya melalui pinjaman berbunga. Ia mendorong agar dana zakat, infak, dan sedekah dioptimalkan untuk mendukung pendidikan anak bangsa.

Jika pun harus berutang, lembaga pemberi pinjaman sebaiknya menyalurkan dana melalui skema qardhul hasan, yakni pinjaman tanpa bunga.

KH Niam juga menekankan pentingnya memilih layanan keuangan syariah, agar transaksi tetap berada dalam koridor halal. MUI juga mengajak seluruh pelaku pinjol agar menjadikan fatwa ini sebagai pedoman, bukan hanya formalitas.

Fatwa MUI tentang pinjol haram menjadi penegasan penting di tengah maraknya praktik pinjaman online yang merugikan.

Masyarakat diimbau lebih cermat dalam memilih layanan keuangan dan tidak tergiur pinjaman cepat yang justru menjerat dengan bunga tinggi.

Berdasarkan data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal 2025, tercatat lebih dari 45 juta akun aktif di sektor fintech lending. Total nilai pinjaman yang telah disalurkan pun menembus angka Rp 61 triliun.

Angka tersebut menggambarkan betapa luasnya penetrasi pinjol legal di Indonesia, namun sekaligus mengindikasikan adanya risiko besar bagi konsumen yang tidak berhati-hati.

Berikut dampak buruk galbay pinjol:

1. Bunga dan Denda Terus Membengkak

Meski OJK telah mengatur bunga maksimal pinjol melalui Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023, yaitu:

- 0,1 persen per hari untuk pinjaman produktif (mulai 1 Januari 2024)

- 0,2 persen per hari untuk pinjaman konsumtif (mulai 1 Januari 2025)

Namun, beban bunga dan denda tetap bisa membengkak drastis jika pembayaran tertunda. Sebagai contoh, pinjaman Rp3 juta dengan bunga konsumtif 0,2 persen selama 30 hari bisa menambah biaya Rp180 ribu, belum termasuk denda keterlambatan yang terus bertambah.

2. Dikejar Debt Collector Bersertifikat

Meski pinjol legal OJK hanya boleh menggunakan jasa penagih bersertifikat, praktik penagihan lapangan bisa tetap menimbulkan tekanan psikologis. Jika terjadi intimidasi, pelecehan, atau penyebaran data pribadi, masyarakat bisa melaporkannya ke OJK atau aparat hukum. Dokumentasi kejadian menjadi bukti penting untuk melindungi hak konsumen.

3. Skor Kredit Anjlok di SLIK OJK

Gagal bayar langsung tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik OJK. Buruknya skor kredit SLIK bukan hanya menghambat pengajuan kredit masa depan seperti KPR atau kendaraan, tetapi juga berisiko mengurangi peluang kerja di sektor keuangan, yang kini mulai memeriksa rekam kredit calon karyawan.

4. Risiko Penyalahgunaan Data Pribadi

Meski pinjol legal hanya boleh mengakses kamera, mikrofon, dan lokasi pengguna, kebocoran data pribadi tetap bisa terjadi. Dalam banyak kasus, informasi ini digunakan sebagai tekanan, atau bahkan disebarkan ke pihak lain yang merugikan secara sosial dan psikologis.

5. Terancam Gugatan Perdata dan Pidana

Peminjam yang gagal bayar pinjaman online legal bisa dikenai gugatan perdata atas wanprestasi. Lebih parah lagi, bila ditemukan data palsu saat pengajuan, pelaku bisa dijerat pidana berdasarkan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Di sisi lain, OJK terus mengimbau masyarakat untuk membaca kontrak pinjaman secara seksama dan menghitung ulang kemampuan bayar sebelum menyetujui pinjaman. Ketidakhati-hatian bisa berakibat panjang dan kompleks, termasuk gugatan hukum yang merugikan.

Pinjol Legal. [Dok. ChatGPT]
Pinjol Legal. [Dok. ChatGPT]

Kondisi ini juga diperkuat oleh fakta bahwa utang bermasalah di sektor pinjol meningkat signifikan. Berdasarkan laporan OJK pada Februari 2025, rasio TWP90 (tingkat wanprestasi lebih dari 90 hari) mencapai 3,15 persen naik dibandingkan tahun sebelumnya.

Penting bagi pengguna untuk tidak hanya melihat kemudahan dan kecepatan dalam pencairan, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang jika terjadi gagal bayar. Edukasi literasi keuangan menjadi kunci untuk menjaga agar pinjaman online benar-benar menjadi solusi, bukan bumerang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI