Suara.com - Menunaikan ibadah haji dengan dana talangan (pinjaman) atau kredit, kerap menjadi solusi bagi sebagian umat Muslim yang belum mampu secara finansial, namun bertekad kuat menunaikan rukun Islam kelima tersebut.
Meski belum masuk kategori mampu atau mustathi'an, para ulama menyatakan bahwa hajinya tetap sah selama seluruh syarat dan rukun haji dipenuhi. Pernyataan ini dikutip dari ulasan NU Online.
Ustadz Alhafiz Kurniawan dari Lembaga Bahtsul Masail PBNU menjelaskan bahwa kewajiban haji hanya ditujukan kepada Muslim yang mampu secara fisik dan finansial, sebagaimana yang ditegaskan dalam QS Ali Imran ayat 97.
Namun, menurutnya, umat Islam yang tidak tergolong mampu tetap diperbolehkan berhaji dengan cara-cara yang dibenarkan dalam syariat, termasuk melalui pinjaman atau kredit haji.
“Orang yang belum mampu di sini misalnya dapat berhaji karena diberangkatkan oleh pihak lain atau meminjam uang untuk biaya haji yang pelunasannya diangsur melalui potongan gaji,” ujar Alhafiz, dikutip dari NU Online, Rabu (21/5/2025).
Pernyataan ini merujuk pada pandangan para ulama klasik seperti Ibrahim As-Syarqawi dalam Hasyiyatus Syarqawi ‘ala Tuhfah dan Syekh Ramli dalam Nihayatul Muhtaj.
Mereka berpendapat bahwa hajinya seorang Muslim tetap sah selama ia berstatus merdeka, mukallaf, dan manasik hajinya dilaksanakan secara sempurna.
Hal ini berlaku meski ia mengupayakan keberangkatan haji dengan bantuan finansial dari pihak lain.
Pandangan tersebut mempertegas bahwa haji bagi orang yang belum mampu secara finansial tidak otomatis menjadi tidak sah.
Bahkan, menurut Ustadz Alhafiz, selama syarat dan rukun haji terpenuhi dan proses pembiayaan tidak bertentangan dengan prinsip syariat, maka kewajiban hajinya dianggap gugur.
“Dengan cara meminjam uang, menabung, arisan haji, atau cara lainnya yang dibenarkan syariat, maka ibadah hajinya tetap sah,” tegasnya.
Senada dengan itu, KH Muhammad Fatih juga menekankan bahwa seseorang yang tidak masuk kategori mampu tetap sah hajinya jika memenuhi seluruh unsur wajib dan rukun haji.
Dalam penjelasannya di kanal YouTube NU Online pada Selasa (20/5/2025), ia menyebut bahwa haji menggunakan skema pembiayaan syariah bisa diupayakan asalkan akadnya diperhatikan secara detail.
Menurut Kiai Fatih, penting untuk memastikan tidak ada unsur riba dalam proses pinjam-meminjam. Ia mencontohkan penggunaan akad nazar sebagai bentuk siasat (hillah) yang dibolehkan dalam Islam.
Misalnya, seseorang bernazar akan memberikan hadiah tambahan kepada pemberi pinjaman jika diberi pinjaman haji sebesar Rp 18 juta.
“Tambahan hadiah Rp3 juta itu tidak dikategorikan riba karena dilakukan melalui akad nazar. Jadi sah-sah saja,” jelas Kiai Fatih.
Ia pun menekankan bahwa niat kuat serta upaya maksimal dalam memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci akan mendapatkan balasan terbaik, selama dilakukan sesuai syariat.
Dalam kasus ini, pemakaian dana talangan haji bukan menjadi penghalang sahnya ibadah, asalkan tidak mengandung unsur yang diharamkan seperti riba.
Lebih lanjut, fenomena penggunaan kredit syariah untuk haji terus berkembang di Indonesia. Beberapa bank dan lembaga keuangan syariah menyediakan fasilitas pembiayaan haji dengan sistem angsuran, tanpa bunga, dan menggunakan akad yang sesuai prinsip Islam.
Hal ini membuka jalan bagi masyarakat kelas menengah dan pekerja untuk berangkat haji lebih cepat tanpa harus menunggu antrean reguler yang bisa mencapai belasan tahun.
Namun, para ulama tetap mengingatkan agar umat Muslim memahami konsekuensi dari pinjaman tersebut, baik dari sisi finansial maupun tanggung jawab pelunasan. Tujuannya agar pelaksanaan ibadah haji tidak justru memberatkan dalam jangka panjang.
Dengan demikian, haji dengan dana pinjaman tetap sah secara hukum fikih, asalkan seluruh syarat syar’i dipenuhi.
Bahkan, semangat untuk menunaikan ibadah haji meski belum tergolong mampu secara finansial bisa menjadi bentuk ketakwaan dan pengorbanan yang bernilai ibadah, selama tidak melanggar aturan agama.