Suara.com - Pada tahun 2050, dunia mungkin harus menghadapi kenyataan pahit, kopi bisa jadi barang langka.
Tak semua orang menyadari bahwa perubahan iklim secara perlahan menggerogoti industri kopi global.
Padahal, ini salah satu industri terbesar di dunia. ia ditopang oleh jutaan petani kecil dari negara-negara selatan. Kini, tanaman kopi makin rentan terhadap suhu ekstrem, curah hujan tak menentu, dan penyakit tanaman yang menyebar lebih cepat karena pemanasan global.
Beberapa studi bahkan menyebut bahwa hingga separuh lahan yang saat ini cocok untuk menanam kopi bisa lenyap pada pertengahan abad ini. Situasi ini dikenal sebagai masalah 2050.
Namun, di tengah ancaman itu, muncul sebuah kisah yang menawarkan arah baru.
Harapan datang dari seorang pria asal Jepang yang menyebut dirinya pemburu kopi—José Yoshiaki Kawashima.
Kawashima bukan petani. Ia juga bukan pemilik perkebunan besar. Tapi ia menghabiskan puluhan tahun hidupnya menjelajahi kebun-kebun kopi di El Salvador, Jamaika, Indonesia, hingga Thailand.
Tujuannya satu mendengarkan langsung suara para petani dan mencari jalan keluar dari krisis yang perlahan membunuh industri ini.
“Ini bukan hanya soal perubahan iklim. Ini soal sistem yang tak menghargai kopi dan orang-orang yang menanamnya,” kata Kawashima.
Baca Juga: Kenaikan Air Laut Picu Migrasi Besar-besaran, Masih Adakah yang Bisa Dilakukan?
Ia merujuk pada satu masalah utama: harga kopi internasional yang stagnan selama puluhan tahun. Sementara itu, biaya produksi, pupuk, hingga tenaga kerja terus meningkat.
![Pedagang menunjukkan biji kopi di Dunia Kopi, Pasar Santa, Jakarta Selatan, Jumat (5/5/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/original/2023/05/05/44785-ekspor-kopi-indonesia-biji-kopi-ilustrasi-kopi.jpg)
Akibatnya, petani terjepit di tengah sistem perdagangan yang tak berpihak pada mereka. Melihat kondisi ini, Kawashima mendirikan Mi Cafeto pada tahun 2008, merek kopi Jepang yang berkomitmen pada keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Bagi Kawashima, solusinya bukan sekadar menaikkan harga, tapi menciptakan sistem nilai yang adil, transparan, berkelanjutan, manusiawi, dan menghargai petani.
Mi Cafeto mengklasifikasikan kopi layaknya anggur, Premier Cru dan Grand Cru. Biji kopi pilihan dari produsen kecil dikemas dalam botol bergaya sampanye, diberi nama berdasarkan musim panen, dan dipasarkan secara eksklusif kepada konsumen yang bersedia membayar harga yang pantas.
Hasilnya petani mendapatkan bayaran yang layak dan termotivasi untuk mempertahankan kualitas serta keberlanjutan produksinya.
Langkah ini tak hanya mengubah persepsi publik soal kopi, tapi juga membuka jalan kolaborasi lintas sektor. Salah satunya adalah kerja sama Mi Cafeto dengan Japan Airlines (JAL).
Sejak 2018, JAL menyajikan kopi Doi Tung di pesawatnya—produk dari Thailand utara yang dulunya merupakan kawasan produksi opium. Bersama Mae Fah Luang Foundation, proyek ini berhasil mengubah kehidupan masyarakat lokal melalui kebun kopi berkelanjutan.
![Pedagang menimbang kopi saat melayani pembeli di Dunia Kopi, Pasar Santa, Jakarta Selatan, Jumat (5/5/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/original/2023/05/05/85187-ekspor-kopi-indonesia-biji-kopi-ilustrasi-kopi.jpg)
“Dengan pelatihan yang tepat, investasi yang cukup, dan sistem yang adil, industri kopi bisa bertahan,” ujar Kawashima. Ia juga menyebut bahwa konsumen punya peran penting untuk tidak hanya menikmati kopi, tetapi juga menghargai proses dan orang di baliknya.
Kisah Mi Cafeto menunjukkan bahwa solusi atas krisis iklim tidak harus datang dari teknologi tinggi atau kebijakan besar. Kadang, itu dimulai dari secangkir kopi yang dibuat dengan hati. Kopi yang bukan hanya enak, tapi juga adil.
Di tengah tantangan global, kisah ini adalah bukti bahwa keberlanjutan bukan mimpi. Ia bisa dimulai hari ini—dari siapa saja yang peduli.