suara hijau

Lawan Modernisasi, Cerita Remaja Bulukumba Pelestari Tradisi Penyadap Nira

Jum'at, 13 Juni 2025 | 08:31 WIB
Lawan Modernisasi, Cerita Remaja Bulukumba Pelestari Tradisi Penyadap Nira
Sepak terjang Sahrul remaja di Bulukumba, Sulwesi Selatan, yang memilih jalan berbeda, yakni menjadi pelestari tradisi penyadap nira.(Istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jalan Sahrul, 26 tahun, berbeda. Arus modernisasi dan daya tarik kota tak bikin matanya silau. Tetap, dia setia kepada pertanian dan pelestarian tradisi penyadapan nira di tanah kelahirannya: Desa Bajiminasa, Kecamatan Rilau Ale, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Sahrul membuktikan diri bahwa profesi penyadap nira memiliki potensi dan nilai yang tak kalah menarik bagi generasi muda. Pembuktian itu di tengah pandangan umum yang acapkali mengaitkan profesi tersebut identik dengan usia sepuh.

Lahir pada tahun 1999 di Bijiminasa, pria yang beken disapa Calul dengan nama plesetan khas Bugis, memulai perjalanan sebagai petani penyadap nira sejak mengenyam pendidikan di bangku SMA, circa tahun 2016-2017.

Pengetahuan menyadap nira merupakan warisan dari kakek ke bapaknya hingga kemudian diajarkan langsung oleh sang paman. "Mulai nyoba nyadap itu di 2016-2017. Awal-awal belajar itu. Pas SMA itu sudah mengenal," kenangnya.

Ia tertarik pada proses penyadapan aren setelah melihat pamannya menyadap di kebun aren dekat rumah. Rasa penasaran itu muncul ketika ia menyadari bahwa nira adalah bahan dasar gula merah.

Hampir sembilan tahun sudah, Sahrul berkecimpung dalam dunia penyadapan nira. Dia mengakui bahwa produktivitasnya tidak selalu konstan. Ada waktu dia tidak produktif dan harus menunggu musim yang tepat agar nira kembali berlimpah.

"Kemarin sempat juga bertani aren, tapi sekarang akhirnya lagi apa. Lagi tidak produktif. Jadi nunggu musim untuk lebih produktif lagi," ujarnya.

Sepak terjang Sahrul (tengah) remaja di Bulukumba, Sulwesi Selatan, yang memilih jalan berbeda, yakni menjadi pelestari tradisi penyadap nira.(Istimewa)
Sepak terjang Sahrul (tengah) remaja di Bulukumba, Sulwesi Selatan, yang memilih jalan berbeda, yakni menjadi pelestari tradisi penyadap nira.(Istimewa)

Namun, hal ini tidak menyurutkan semangatnya. Sahrul juga menuturkan pengalaman pertamanya memanjat pohon aren yang tingginya mencapai 5-10 meter. Memang deg-degan, tapi dia terbiasa memanjat pohon lain seperti panen cengkeh. Tantangan itu bisa diatasi.

Dorongan terbesar Sahrul untuk terus melestarikan tradisi penyadapan nira datang dari komunitas. Ia aktif berdiskusi dengan teman-teman yang memiliki jaringan dan komunitas peduli kearifan lokal.

Baca Juga: Perkawinan Anak Tinggi, Provinsi Sulsel Jadi Sorotan Menteri PPPA

"Mungkin karena pengaruh komunitas kan kita sering berdiskusi sama beberapa teman-teman yang sudah berjaring dan ada komunitas. Di situlah mungkin saya lebih tahu lebih banyak soal manfaat nira, nilai kearifan lokalnya, nilai kebudayaannya," jelas Sahrul.

Sahrul juga merupakan bagian dari komunitas kelas konservasi di desanya, Bulolohe, yang bernama DMT (Dana Mitra Tani). Komunitas ini berfokus pada pelestarian kebudayaan, seperti penyadapan nira oleh petani aren, mengenali tanaman endemik, dan peduli lingkungan.

"Kelas konservasi ini lebih kepada melestarikan hal-hal yang ada, misal kebudayaan, soal penyadapan nira yang dilakukan oleh petani aren, kemudian mengenali tanaman-tanaman endemik, kemudian peduli soal lingkungan yang kami lakukan," tambahnya.

Sebelum fokus penuh pada pertanian, Sahrul sempat bekerja di perusahaan di Bantaeng. Kendati begitu, kehidupan monoton dengan target omset bikin dia terasing dari masyarakat dan kehilangan esensi sebagai pemuda. Dia pun memilih kembali ke desa dan menekuni pertanian karena lebih bebas dan bisa berinteraksi lebih banyak dengan masyarakat.

"Saya lebih bebas dan lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat tentang pertanian karena kemarin kehidupan yang monoton di perusahaan itu ngejar target omset dan sebagainya itu seiring membuat saya tidak eksis di tengah masyarakat sebagai pemuda," ungkapnya.

Bagi Sahrul, melestarikan tradisi penyadapan nira adalah bagian dari identitasnya sebagai anak dari keluarga petani aren.

"Ini termasuk peninggalan leluhur yang secara turun-temurun ini harus dilestarikan. Kalau saya sebagai pemuda berhenti juga untuk tidak melestarikan hal itu. Esensi saya, identitas saya sebagai orang-orang yang berada di keluarga petani aren dan keluarga orang yang selalu menyadap aren. Termasuk pelakunya juga seperti itu," tegasnya.

Pundi dari nira

Secara finansial, Sahrul mengaku bersyukur dengan pendapatannya dari menyadap nira. Pekerjaan ini tidak membutuhkan waktu seharian penuh, memungkinkan ia untuk melakukan aktivitas lain seperti bersawah dan berkebun.

Ditambah lagi, saat ini melalui bantuan dana hibah GEF SGP Indonesia DMT memiliki koperasi yang mengakomodir hasil sadapan nira para petani untuk diolah menjadi gula batok dan dijual kembali.

"DMT punya kooperasi ini yang mengambil hasil sadapan kami yang sebagai nira ini, kemudian dibuat sebagai gula batok, itu sudah diakomodir oleh kooperasi DMT untuk diambil kemudian dijual kembali. Jadi kami petani aren ini sudah merasa punya market lah sendiri," jelas Sarul, menunjukkan adanya ekosistem yang mendukung mata pencaharian mereka.

Namun, profesi penyadap nira tak lepas dari stigma negatif di masyarakat. Sahrul mengakui bahwa dulu ada anggapan penyadap nira adalah "pemabuk" karena sebagian orang mengonsumsi nira yang sudah difermentasi menjadi alkohol.

Meski begitu, Sahrul dan komunitasnya berupaya mengubah persepsi tersebut. Caranya: dengan lebih banyak mempromosikan manfaat nira sebagai bahan dasar gula aren.

"Sekarang banyak udah anak muda yang dari komunitasnya Bang Sarul ini yang udah gabung gitu. Wah anak muda jadi banyak nyoba buat nyedap. Sedikit banyaknya ini kan pelan-pelan saya akan mengajak teman-teman untuk lebih banyak mengkonsumsi produk gulanya dibanding produk alkoholnya," harap Sahrul.

Ia ingin menunjukkan bahwa nira memiliki nilai ekonomi dan kebermanfaatan yang jauh lebih besar ketika diolah menjadi gula aren.

Untuk generasi muda

Sarul memiliki pesan khusus bagi generasi muda agar tidak malu untuk terjun ke sektor pertanian dan melestarikan kearifan lokal.

"Kalau esensi buat teman-teman pemuda, karena pertanian ini kan sumber kehidupan dunia. Nah segala sesuatu yang ada di alam ini tentunya akan menjadi bahan-bahan pokok yang membuat kita terus hidup berkelanjutan. Nah kalau pemuda sekarang tidak ingin beralih dari hal-hal teknologi ke hal-hal seperti ini, itu kan sayang namanya," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI