Apa Hukum Anak yang Belum Aqiqah dalam Syariat Islam? Ini Penjelasan Muhammadiyah

Riki Chandra Suara.Com
Senin, 21 Juli 2025 | 12:15 WIB
Apa Hukum Anak yang Belum Aqiqah dalam Syariat Islam? Ini Penjelasan Muhammadiyah
Ilustrasi kambing Aqiqah. [Dok. Antara]

Suara.com - Status anak yang belum diaqiqahkan kerap menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Padahal, ia tetap sah secara syariat dan tetap memiliki kedudukan hukum yang utuh dalam Islam.

Hal itu ditegaskan oleh Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DI Yogyakarta, Ali Yusuf. Pernyataan itu merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Samurah:

"Setiap anak laki-laki tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadis itu, kata “tergadai” digunakan dengan istilah “murtahanun” atau “rahinatun”, yang menurut Ali bermakna simbolik. Rasulullah SAW menggunakan istilah itu untuk menegaskan pentingnya pelaksanaan aqiqah dalam Islam, bukan untuk menyatakan bahwa anak tidak sah jika belum diaqiqahi.

“Ungkapan tersebut merupakan bentuk penegasan dari Nabi SAW bahwa aqiqah adalah ibadah yang sangat dianjurkan, bahkan termasuk sunah muakkadah,” jelas Ali, dikutip dari ulasan website resmi Muhammadiyah.

Dia mengatakan bahwa pelaksanaan aqiqah adalah bagian dari adab Islam untuk menyambut kelahiran anak. Selain sebagai wujud syukur, aqiqah juga dipahami sebagai bentuk penunaian hak anak.

Hal ini didasarkan pada banyak hadis sahih, termasuk hadis-hadis yang menggunakan redaksi “a’marana” (kami diperintahkan) dan “fa-ahriqu” (maka sembelihlah), yang menunjukkan anjuran kuat.

Meski ada perbedaan pandangan, mayoritas ulama—termasuk Imam Malik dan Imam Syafi’i, sepakat bahwa hukum aqiqah adalah sunah muakkadah. Artinya, sangat dianjurkan namun tidak berdosa jika ditinggalkan. Hukum ini berlaku baik untuk anak laki-laki maupun perempuan.

Lantas, apakah aqiqah bisa dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran?

Ali Yusuf menanggapi hal ini dengan merujuk pada hadis riwayat Aisyah RA, yang menyatakan bahwa jika tidak bisa dilakukan pada hari ketujuh, maka dapat dilaksanakan pada hari keempat belas atau kedua puluh satu.

Namun, menurutnya, hadis tersebut lemah (dha’if) dan tidak cukup kuat untuk dijadikan landasan hukum ibadah. “Dalam manhaj tarjih Muhammadiyah, yang dapat dijadikan dasar hukum adalah hadis maqbul, yaitu yang sahih atau hasan,” ujarnya.

Atas dasar itu, pelaksanaan aqiqah yang ideal adalah pada hari ketujuh. Bila dilakukan di luar waktu tersebut, tindakan itu lebih tepat disebut sebagai bentuk sedekah biasa, bukan aqiqah sesuai sunah.

Dengan pelurusan pemahaman ini, masyarakat diharapkan tidak lagi memandang bahwa anak yang belum diaqiqahi memiliki status hukum yang tidak sah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI