Suara.com - GEF SGP Indonesia menggandeng Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, menanam 1.000 bibit mangrove di Kawasan Wisata Mangrove Tulaika, Kelurahan Mebba, Kecamatan Sabu Barat, Rabu (23/7/2025). Aktivitas ini bagian dari rangkaian peringatan Hari Mangrove Sedunia 26 Juli, Hari Anak Nasional, dan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan RI.
Turut hadir Wakil Bupati Sabu Raijua, Thobias Uly; eks Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK periode 2019-2024, Bambang Supriyanto; serta Inspektorat Jendral KLH/BPLH 2025, Laksmi Dhewanthi. Ikut terlibat pula aktivis lingkungan Sabu Raijua, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkab Sabu Raijua, masyarakat, dan pelajar SMP 3 Sabu Raijua. Hal ini sebagai simbol komitmen bersama upaya pelestarian lingkungan.
Wakil Bupati Thobias Uly menekankan pentingnya inisiatif ini sebagai upaya penghijauan kembali Sabu Raijua. Menurut dia, kegiatan tersebut bakal menghasilkan warisan yang akan dinikmati generasi mendatang.
“Saat musim kemarau, kondisi di Sabu Raijua, mulai dari pantai hingga pegunungan, sangat kering. Karena itu, gerakan penanaman pohon, khususnya mangrove, sangat krusial. Kegiatan ini bukan cuma untuk kita saat ini, tetapi sebagai warisan yang akan dinikmati anak cucu kita di masa depan,” jelas Thobias dalam sambutannya.

Selain itu, Thobias juga menyerukan seluruh masyarakat tidak hanya menanam, tapi juga merawat pohon hingga tumbuh besar. Thobias mengatakan, “kita harus bersama-sama merawat Sabu Raijua agar hijau dan rindang, sehingga kita semua bisa menikmati hasilnya.”
Sementara itu, Laksmi Dhewanthi, mantan Inspektur Utama KLH/BPLH dan Focal Point Panitia Pengarah Nasional GEF SGP Indonesia, yang turut hadir dalam acara ini, menyoroti peran edukasi bagi anak-anak.
“Kami di KLH, bersama mitra-mitra seperti GEF SGP, berupaya menyiapkan generasi muda untuk melanjutkan program-program yang baik ini. Melalui kegiatan seperti ini, anak-anak akan terbiasa berpartisipasi dalam merawat lingkungan,” kata Laksmi.
Ia juga menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam penanaman mangrove di Sabu Raijua. Laksmi mengatakan Sabu Raijua sangat ringkih sebagai ekosistem pulau kecil. Ya, bibit mangrove yang masih muda kerap kali mati gara-gara curah hujan yang ekstrem.
"Sebagai ekosistem pulau kecil, Sabu Raijua sangat rentan. Bibit mangrove yang masih muda sering kali mati akibat curah hujan yang ekstrem—terlalu banyak genangan atau terlalu kering. Karena itu, kita perlu terus menanam, merawat, dan memelihara karena faktor keberhasilan tidak 100%," ujar Dhewanthi.
Lebih jauh lagi, Laksmi mengatakan, pentingnya mengganti bibit yang mati secara berkala untuk memastikan pertumbuhan yang optimal.

Ada isul lain di samping tantangan iklim, yakni dampak pengerukan pasir terhadap ekosistem pesisir. Menurut Rowi Kakamone, seorang enumerator dari Dinas Kelautan dan Perikanan, pengerukan pasir telah menyebabkan sumur-sumur air tawar menjadi payau, menambah beban biaya bagi masyarakat. Tapi, Rowi menyadari dilema yang dihadapi.
“Meskipun pembangunan harus terus berjalan, kita juga harus sadar akan dampak lingkungan. Kami selalu berupaya untuk membangun kesadaran masyarakat agar menjaga mangrove dan tidak memotongnya,” tegasnya.
Rowi juga menjelaskan Sabu Raijua memiliki keterbatasan sumber bibit mangrove. Maka, pihaknya terus membangun jejaring dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar daerah, untuk mendapatkan bantuan bibit. Ia mengajak siapa pun yang peduli lingkungan untuk berpartisipasi dalam upaya penanaman dan konservasi mangrove di Sabu Raijua.
Penanaman mangrove ini menjadi momentum penting untuk membangkitkan semangat kolaborasi. Melalui sinergi antara pemerintah, aktivis lingkungan, dan partisipasi aktif masyarakat, Sabu Raijua memiliki harapan besar untuk menjadi daerah yang lebih hijau, lestari, dan tangguh dalam menghadapi tantangan lingkungan di masa depan.