Suara.com - Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, kembali menyerukan pentingnya transisi energi bersih yang tidak hanya tak terelakkan, tetapi juga dapat diandalkan dan layak diinvestasikan.
Dalam pidato utamanya, ia menegaskan bahwa dunia belum bergerak cukup cepat dan belum cukup adil dalam meninggalkan bahan bakar fosil, meski energi bersih seperti matahari dan angin kini hampir selalu menjadi sumber listrik termurah di dunia.
Menurut Guterres, banyak pemerintah masih memberi sinyal yang membingungkan: satu hari mereka menetapkan target energi terbarukan, keesokan harinya memperluas subsidi bahan bakar fosil. Ketidakkonsistenan ini menghambat investasi dan memperlambat momentum global.
Guterres menekankan bahwa transisi energi bukan sekadar upaya mengurangi emisi, tetapi juga peluang besar untuk meningkatkan ketahanan energi dan memperluas akses listrik bagi ratusan juta orang. Sayangnya, energi fosil masih mendominasi 60 persen bauran energi global.

Padahal, laporan terbaru menunjukkan bahwa energi terbarukan telah menyumbang lebih dari 92 persen kapasitas listrik baru sepanjang 2024.
Menjelang batas waktu 24 September 2025, PBB meminta semua negara segera memperbarui rencana iklim nasional mereka (NDC) dengan target yang ambisius dan inklusif.
Hingga kini, baru 30 dari 195 negara yang menyetor rencana terbarunya, sementara negara-negara penghasil emisi besar seperti Tiongkok, India, dan Uni Eropa belum memberikan pembaruan.
Presiden COP30 asal Brasil, André Corrêa do Lago, mendukung seruan ini dengan menambahkan bahwa rencana iklim harus menjadi alat penciptaan pekerjaan, pengurangan ketimpangan, dan peningkatan kesejahteraan. Menurutnya, inklusi bukan pelengkap ambisi iklim, melainkan fondasinya.
Dalam pidatonya, Guterres juga menyoroti peran industri teknologi. Ia meminta seluruh pusat data global beralih ke 100 persen energi terbarukan sebelum tahun 2030.
Baca Juga: Orang Kaya Ngeluh Bayar PBB Naik, Pramono: Ributnya Sebentar, Kami Tetap Jalankan untuk Ditagih
Ini penting, mengingat pusat data global diperkirakan akan mengonsumsi lebih dari dua kali lipat energi pada akhir dekade ini seiring pertumbuhan teknologi kecerdasan buatan.
Transisi energi bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga menyangkut keadilan sosial, kesehatan publik, dan masa depan ekonomi global. Rencana dan kebijakan hari ini akan memengaruhi kualitas hidup masyarakat dunia dalam 5 hingga 10 tahun ke depan.
Dengan COP30 tinggal beberapa bulan lagi, kini saatnya bagi negara-negara untuk menetapkan arah baru menuju sistem energi yang lebih bersih, lebih adil, dan lebih tangguh menghadapi masa depan.