Penetapan Lebaran Tidak Dipaksa Bersamaan

Ardi Mandiri Suara.Com
Jum'at, 17 Juli 2015 | 00:03 WIB
Penetapan Lebaran Tidak Dipaksa Bersamaan
Penetapkan 1 Syawal 1436 H

Suara.com - Idul Fitri dirayakan bersama menjadi salah satu sejarah tahun ini dan penetapannya merupakan hasil kesepakatan para ulama dari berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, ditambah pertimbangan para ahli astronomi.

Di negara lain, kesamaan hari perayaan Idul Fitri terkadang terjadi karena adanya "pemaksaan" dari otoritas sebuah negara, terutama negara Islam. Tidak hanya Idul Fitri, awal Ramadan dan Idul Adha juga cenderung ditetapkan bukan dari forum diskusi seperti di Indonesia melainkan langsung dari sebuah negara.

"Di Indonesia kenapa beda? Karena penetapannya tidak dipaksakan oleh negara," kata Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin.

Sejatinya, penetapan yang bernuansa politis sempat terjadi di Indonesia. Tidak mengherankan pada Orde Baru jarang ditemui perbedaan perayaan Idul Fitri.

Belakangan, sejak era reformasi bergulir perbedaan Lebaran beberapa kali terjadi. Salah satunya seperti yang berlangsung pada tahun lalu.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan terdapat perbedaan era Orde Baru dengan era reformasi soal penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.

Saat Orba, kata Menag, penentuan hari besar Islam bukan ditentukan oleh para pemuka agama tapi cenderung ada politisasi dan campur tangan pemerintah yang cukup kentara.

Ormas Islam Muhammadiyah kerap disorot karena sering berbeda dengan pemerintah dalam menetapkan hari-hari besar Islam.

Persoalan yang kerap terjadi adalah Muhammadiyah kerap mendahului keputusan pemerintah tanpa menunggu hasil sidang isbat untuk penetapan awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha.

Muhammadiyah sendiri memiliki dasar penanggalan lewat metode penghitungan (hisab) untuk penetapan hari besar Islam. Bahkan ormas ini sudah dapat memetakan hari besar Islam untuk beberapa puluh tahun ke depan.

Ormas ini memiliki dasar hisab lewat ilmu falak/astronomi yang ilmiah dan didukung hukum syariah.

Secara umum, perbedaan keputusan Muhammadiyah dan pemerintah dilatarbelakangi oleh penggunaan metode memandang hilal atau kemunculan rembulan.

Hilal adalah bulan sabit muda pertama yang dapat dilihat setelah terjadinya konjungsi (ijtimak, bulan baru) pada arah dekat matahari terbenam yang menjadi acuan permulaan bulan dalam kalender Islam.

Muhammadiyah kerap menggunakan metode penghitungan dalam menentukan penanggalan Islam. Sementara pemerintah cenderung memadukan melihat bulan langsung dengan penghitungan astronomi (imkanu rukyat).

Hisab menurut pemerintah dipakai untuk menjadi panduan dalam melihat bulan dengan mata kepala (rukyat).

Imkanu rukyat juga memiliki dasar ilmiah dan syariah yang sama-sama kuat sehingga tidak bijak jika ada saling mencaci di antara metode itu.

Kedua belah pihak memiliki alasan yang sama-sama kuat sehingga sudah seharusnya di antara umat Islam saling menghargai dan tidak merendahkan pihak yang berbeda pendapat.

Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin sempat mengutarakan keinginannya agar masyarakat tidak turut memojokkan ormasnya hanya karena memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah. Terlebih beberapa kali ormas yang dipimpinnya memiliki ketetapan berbeda dalam penetapan hari besar Islam.

"Janganlah perbedaan ini yang ditonjolkan. Tidak perlu ada komentar negatif dan metode yang kami terapkan juga tidak mengada-ada. Masyarakat agar dewasa berpendapat," kata Din.

Din juga berharap agar pemerintah tidak berat sebelah terutama jika hasil sidang isbat berbeda dengan hasil hisab Muhammadiyah. Satu hal yang kerap terjadi adalah ormas Muhammadiyah tidak diberikan ijin menggunakan alun-alun untuk sholat id hanya karena keputusannya berbeda dengan pemerintah.

Beruntung pada tahun ini perayaan Idul Fitri akan dilaksanakan secara bersama-sama pascaputusan isbat pada Kamis (16/7) malam Kalender Islami Global Solusinya Din Syamsuddin mengatakan Idul Fitri akan terus dirayakan bersama-sama di Indoneseia dan seluruh dunia secara terus menerus apabila telah ada kesepakatan dalam menerapkan kalender Islami secara global.

"Kondisi seperti ini (perayaan bersama-sama Lebaran 2015) akan sampai tahun 2022," kata Din.

Untuk itu, Din mendorong kepada setiap umat Muslim agar bersatu dalam menetapkan kalender Hijriah. Dengan begitu, tidak akan terjadi lagi perbedaan waktu perayaan Idul Fitri.

Lebih jauh, kalender Hiriah yang bersifat global ini juga dapat menjadi acuan untuk penetapan awal Ramadhan, awal bulan Dzulhijah dan hari-hari penting umat Islam lainnya.

Din mengatakan yang terjadi selama ini adalah belum ada kesamaan pandangan di antara umat Islam terkait kalender Hijriah. Ke depannya, masih kata dia, mutlak diperlukan agar umat Islam memiliki kalender islami bersifat tahunan.

"Dari satu Muharram sampai akhir tahun Hijriah sehingga kita tidak perlu melakukan penetapan (sidang isbat) secara eceran setiap awal Ramadhan, Idul Fitri dan awal Dzulhijah," kata dia.

Satu tahun ke depan Din akan terus mendorong pemerintah agar lebih aktif membawa isu penyatuan kalender Islami secara internasional di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Rabithah Alam Islami.

"Kalender ini bukan hanya masalah Indonesia. Standarnya juga jangan bersifat nasional atau 'qaumy', tapi dunia Islam yang 'rahmatan lil 'alamin'," kata dia.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin merespon baik dengan gagasan tersebut.

Kemenag, kata Lukman, dalam beberapa bulan terakhir telah melakukan pertemuan-pertemuan dengan sejumlah ormas Islam dengan agenda penyatuan kelender Islami.

Menag mengatakan pihaknya telah bertemu dengan dua ormas besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dalam upaya penyamaan kelender Islami.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Machasin mengatakan penyatuan kelender Islam sejauh ini memiliki persoalan belum samanya pandangan tentang berbagai kriteria, salah satunya tentang standar keterlihatan hilal (bulan). Bulan sendiri menjadi alat acuan utama dalam menetapkan penanggalan Islam.

Machasin juga optimistis kalender Islam bisa disatukan kendati masih terdapat beberapa perbedaan mendasar, terutama dalam menerapkan kriteria hilal.

"Ada jalan untuk disatukan. Yang beda sekarang itu bukan rukyat dan hisab tapi kriterianya berapa. Bagi penganut hisab, maka derajat hilal di cakrawala sebesar nol derajat maka sudah dianggap maka konjungsi dan dinyatakan sebagai bulan baru. Berbeda dengan penganut imkanu rukyat yang mensyaratkan hilal itu ada di dua derajat atau lebih," kata dia. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI