Nama Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri hari ini menjadi perbincangan hangat. Dia jadi pembicaraan setelah dilaporkan pengurus LSM Aliansi Anak Bangsa Gerakan Anti Penodaan Agama bernama Baharuzaman ke Bareskrim Polri dengan tuduhan tak main-main, diduga menodai agama.
Pidato Megawati yang disoal Baharuzaman disampaikan dalam acara perayaan ulang tahun PDI Perjuangan yang ke 44 di Jakarta Convention Center, Senayan, pada Selasa (10/1/2017).
Acara tersebut, ketika itu dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta sebagian menteri dan anggota DPR, serta kolega. Ribuan kader PDI Perjuangan dari daerah pun tumplek di sana.
Salah satu bagian yang disoal Baharuzaman adalah ketika Megawati mengatakan: "Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Di sisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memposisikan diri mereka sebagai pembawa self fullfiling prophecy, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, padahal, notabene mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya."
Baharuzaman menganggap isi kalimat tersebut menyakitkan.
Berikut ini adalah isi pidato lengkap Megawati.
Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga PDI Perjuangan mampu melewati berbagai ujian sejarah selama 44 tahun. Pasang naik dan pasang surut sebagai sebuah partai politik, telah kami lalui. Saya sebagai Ketua Umum pada hari ini, ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang memilih berada dalam gerbong perjuangan bersama. Terima kasih kepada mereka yang tetap setia, meski kadang Partai ini mendapat terpaan gelombang yang begitu dahsyat. Mereka selalu ada, tidak hanya ketika Partai ini sedang berkibar, namun justru memperlihatkan kesetiaannya ketika Partai berada dalam posisi yang sulit. Ijinkan saya memberikan penghormatan, dan penghargaan sebesar-besarnya, kepada antara lain Bapak Jacob Nuwa Wea, Bapak Alexander Litaay, dan Bapak Mangara Siahaan, dan masih banyak yang lain, yang tidak bisa saya sebut satu per satu. Mereka telah mendahului kita menghadap Sang Khalik sebagai pejuang Partai. Mereka tidak hanya ada dalam sejarah hidup saya, namun juga adalah tokoh-tokoh yang berjuang mempertahankan Partai ini sebagai partai ideologis. Kesetiaan yang mereka tunjukan sepanjang hidup kepartaian, bagi saya adalah bentuk kesetiaan ideologis, yang sudah seharusnya dihayati, dan dijalankan oleh setiap kader Partai.
Hadiri yang saya muliakan,
Dari awal mula saya membangun Partai ini, tanpa ragu saya telah menyatakan dan memperjuangkan, bahwa PDI Perjuangan adalah partai ideologis, dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Syukur alhamdulillah, pada tanggal 1 Juni tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Artinya, secara resmi negara telah mengakui, bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Saudara-saudara,
Peristiwa di penghujung tahun 2015, telah menggugah sebuah pertanyaan filosofis dalam diri saya: cukupkah bagi bangsa ini sekedar memperingati 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila? Dari kacamata saya, pengakuan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila, memuat suatu konsekuensi ideologis yang harus dipikul oleh kita semua. Dengan pengakuan tersebut, maka segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.
Apa yang terjadi di penghujung tahun 2015, harus dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan kita terhadap pentingnya Pancasila sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” terhadap tendensi hidupnya “ideologi tertutup”, yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis. Ia tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup dari masyarakat. Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat. Mereka memaksakan kehendaknya sendiri; tidak ada dialog, apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan, hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter, dan dijalankan dengan cara-cara totaliter pula. Bagi mereka, teror dan propaganda adalah jalan kunci tercapainya kekuasaan.
Syarat mutlak hidupnya ideologi tertutup adalah lahirnya aturan-aturan hingga dilarangnya pemikiran kritis. Mereka menghendaki keseragaman dalam berpikir dan bertindak, dengan memaksakan kehendaknya. Oleh karenanya, pemahaman terhadap agama dan keyakinan sebagai bentuk kesosialan pun dihancurkan, bahkan dimusnahkan. Selain itu, demokrasi dan keberagaman dalam ideologi tertutup tidak ditolelir karena kepatuhan total masyarakat menjadi tujuan. Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaaan. Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Disisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.
Saudara-saudara,
Apa yang saya sampaikan di atas tentang ideologi tertutup, jelas bertentangan dengan Pancasila. Pancasila bukan suatu ideologi yang dipaksakan oleh Bung Karno atau pendiri bangsa lainnya. Pancasila lahir dari nilai-nilai, norma, tradisi dan cita-cita bangsa Indonesia sejak masa lalu, bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Bung Karno sendiri menegaskan, dirinya bukan sebagai penemu Pancasila, tetapi sebagai penggali Pancasila. Beliau menggalinya dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya bangsa dari buminya Indonesia. Pancasila dengan sendirinya adalah warisan budaya bangsa Indonesia. Apakah ketika Indonesia berumur 71 tahun, kita telah melupakan sejarah bangsa? Jangan sekali-kali melupakan sejarah kita!!