Ketiga, kasus BL adalah kasus anak berhadapan dengan hukum, yaitu sebagai Korban Kekerasan Seksual sekaligus Terdakwa maka seharusnya seluruh Aparat Penegak Hukum, memiliki perspektif hak anak, dan mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak. Penjara bukan pilihan terbaik untuk anak, apalagi korban kekerasan seksual.
Keempat, sidang pidana anak seharusnya tidak hanya sebatas formalitas saja, namun untuk memulihkan anak sesuai semangat keadilan restorative. Sepanjang pemeriksaan terdakwa, majelis hakim memaksa anak untuk mengatakan hal-hal sesuai keinginan dan perspektif hakim. Akibatnya, BL menangis karena terus ditekan untuk mengakui apa yang tidak dilakukannya. Ini memperlihatkan BL mengalami reviktimisasi.
Kelima, mendesak kepada Jaksa Pengawas dan Komisi Kejaksaan RI untuk memeriksa jaksa penuntut umum serta Kasipidum Kejaksaan Negara Jakarta Selatan atas tuntutan melebih ancaman pidana maksimal dan hukum acara pidana.
Keenam, meminta Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas kepada hakim anak, untuk melaksanakan persidangan yang ramah anak
Ketujuh, meminta pemerintah dan DPR memasukkan kondisi korban kekerasan seksual sebagai salah satu alasan yang meringankan dalam hal korban kekerasan seksual menjadi tersangka tindak pidana yang berkaitan langsung dengan kekerasan seksual yang dialaminya.