Identifikasi Kecurangan, BPJS Kesehatan Libatkan KPK

Selasa, 10 Oktober 2017 | 20:19 WIB
Identifikasi Kecurangan, BPJS Kesehatan Libatkan KPK
Ilustrasi BPJS Kesehatan
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Polemik BPJS Kesehatan seakan tak berhenti pada pelayanan yang banyak dikeluhkan. Jaminan Sosial yang visinya ingin mengcover semua penduduk Indonesia, kembali berhadapan dengan defisit.

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek juga telah memperkirakan defisit BPJS Keseahtan akan berlangsung hingga akhir tahun dengan perkiraan Rp9 triliun.

Di tengah ikhtiar BPJS Kesehatan mengharapkan suntikan dana pemerintah, sejumlah hal krusial terkait fraud juga sedang ramai dibicarakan. Belum lagi kinerja BPJS Kesehatan yang dinilai masih lamban menggenjot kepesertaan untuk menambah pemasukan iuran.

Tim Independen.id dan Suara.com pada pertengahan Agustus melayangkan permohonan wawancara dengan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. Namun karena kesibukan dan lain hal, Kepala Biro Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat hanya menyarikan jawaban-jawaban direktur utama, lalu dikirimkan via surat elektronik.

Di waktu terpisah, tim Independen.id dan Suara.com kembali mewawancarainya untuk beberapa pertanyaan lanjutan. Berikut petikannya.

Bisakah jelaskan seperti apa postur keuangan BPJS Kesehatan saat ini, dari sisi pemasukan dan pegeluaran? Apakah masih defisit?

Pada dasarnya setiap awal tahun anggaran, Program jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Seha, selalu dihitung dengan pendekatan dan prinsip anggaran berimbang. Prinsip umum, untuk terjadinya anggaran berimbang, prinsip adalah:

- Pengeluaran dan pendapatan harus sama.
- Pendapatan utama bersumber dari iuran peserta.
- Berdasarkan hitungan aktuaria, namun iuran saat ini belum sesuai dengan angka ideal.

Karena iuran belum sesuai angka idealnya, program ini structurally unfunded, sehingga akan terjadi mismatch, sampai kapanpun. Kondisi ini sudah sejak awal diprediksi, bukan tiba-tiba. Prediksi ini telah di ketahui karena BPJS Kesehatan memiliki data historis yanh lengkap, dan sesuai dengan prinsip jaminan sosial semua harus dapat diprediksi (predictability principle).

Dalam proses pengesahan RKAT Rencana Kerja Anggaran Tahunan BPJS Kesehatan, sesuai regulasi terdapat beberapa pemangku kepentingan yang terlibat diantaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Semua pihak di atas mendalami prediksi terjadinya mismatch, jauh sebelumya. Artinya, dalam hal ini setahun sebelum program berjalan, sudah diketahui bahwa program JKN-KIS akan terjadi mismatch.

Angka-angka mismatch ini terlihat dalam proses penyusunan RKAT. Kemudian, diantisipasi bersama, termasuk pilihan dan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mengatasi deficit tersebut melalui anggaran negara. Bukan dengan menaikkan iuran atau mengurangi manfaat program bagi masyarakat. Inilah komitmen yang luar biasa dari pemerintah untuk tetap menghadirkan negara bagi rakyatnya di sektor kesehatan.

Apa saja faktor penyebab defisit anggaran BPJS Kesehatan, setiap tahun selalu terjadi?

Kondisi tersebut terjadi karena adanya mismatch antara besaran iuran dengan manfaat jaminan kesehatan. Besaran iuran yang berlaku pada tahun 2014 dan 2015 belum sepenuhnya menggunakan perhitungan aktuaria. Walaupun telah dilakukan penyesuaian iuran di tahun 2016 angka tersebut juga masih kurang ideal dari yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional. Kondisinya masih terdapat gap besaran iuran dengan perhitungan aktuaria. Kelas I saat ini Rp80 ribu dan masih ada gap sebesar Rp27.500 dari iuran idealnya. Begitu pula untuk kelas II saat ini Rp51.000 dengan gap Rp12.000 dari iuran idealnya Rp63 ribu. Sementara untuk kelas III, iuran ideal menurutnya Rp53 ribu, sedangkan saat ini besarannya masih Rp25.500.

Selain itu, tingginya peningkatan peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dimana segmen peserta ini memiliki karakteristik adverse selection dan menunggak iuran yang tinggi, bahkan pada tahun 2014 mendaftar dalam kondisi sakit. Serapan biaya segmen peserta PBPU juga sangat siginifikan dibandingkan dengan segmen lainnya Kedua penyebab utama tersebut telah mengakibatkan realisasi beban jaminan kesehatan secara keseluruhan melebihi iurannya.

Sejak program ini dijalankan hal ini sudah diprediksi, penyebab mismatch ini adalah insurance effect, akibat dibukanya “keran” asuransi oleh pemerintah, sehingga masyarakat yang sebelumnya enggan bahkan tidak mampu ke rumah sakit, kini dengan hadirnya BPJS Kesehatan tidak ada kekhawatiran tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatan. Masyarakat yang kebanyakan mendaftarpun adalah mereka yang sudah didiagnosa memiliki penyakit kronis, sehingga angka pelayanan kesehatan tinggi.

Apa yang telah kita lakukan untuk mengendalikan defisit anggaran?

Opsi pertama, penyesuaian iuran. Namun ini tidak menjadi pilihan, karena pemerintah tidak ingin membebani rakyat. Regulasi menyatakan (opsi kedua) yaitu mengurangi manfaat pelayanan kesehatan. Misalnya pelayanan untuk kelompok diagnosis penyakit-penyakit jantung tidak dilayani lagi. Pasti mismatch hilang dengan sendirinya. Namun ini tidak akan menjadi pilihan. Lalu? Apakah ada pilihan lain? Jawabnya ada (opsi ketiga). Sesuai Peratuan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan, Pemerintah menyuntikkan dana tambahan lewat APBN untuk mengatasi mismatch. Ini yang menjadi pilihan saat ini dan ini adalah komitmen

Pemerintah untuk tetap menghadirkan negara dalam hal memberikan jaminan kesehatan bagi rakyatnya.

Benarkah BPJS Kesehatan kembali mengajukan Penyertaan Modal Negara? Anggarannya berapa dan apakah sudah dicairkan?

Sudah dijelaskan dalam pertanyaan sebelumnya, bahwa PMN atau suntikan dana dari pemerintah kepada BPJS Kesehatan untuk menutupi potensi mismatch adalah bagian dari komitmen pemerintah sebagai kompensasi penetapan iuran yang belum sepenuhnya sesuai dengan perhitungan akturia yang telah diajukan oleh DJSN serta tidak diambilnya opsi kedua yaitu pengurangan manfaat pelayanan kesehatan.

Di tahun 2015 Suntikan dana dari pemerintah kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp5 Triliun pada tahun 2015 (sesuai dengan UU Nomor 3 Tahun 2015, PP Nomor 48 Tahun 2015 dan PP Nomor 124 Tahun 2015). Sedangkan di tahun 2016 diberikan suntikan dana sebesar Rp6,8 Triliun, dan rencana di tahun 2017 suntikan dana sebesar Rp3,6 triliun.

Ada kritik bahwa pegajuan PMN atau campur tangan pemerintah untuk defisit ini, belum sebetulnya solusi terakhir karena masih ada potensi income (pemasukan) dari kepesertaan badan usaha. Bagaimana tanggapan bapak?

Seperti yang sebelumnya sudah kami jelaskan bahwa tentang permasalahan PMN merupakan bagian dari komitmen pemerintah sebagai kompensasi penetapan iuran yang belum sepenuhnya sesuai dengan perhitungan akturia yang telah diajukan oleh DJSN. Adapun terkait dengan potensi pemasukan iuran lainnya memang hal tersebut bisa saja terjadi, mengingat masih terdapat sekitar 30 persen penduduk Indonesia yang belum masuk menjadi kepesertaan JKN-KIS dan hal tersebut tidak hanya dari kepesertaan dari Badan Usaha saja, segmen peserta lain seperti masyarakat informal juga masih ada yang belum menjadi peserta JKN-KIS.

Bisa dijelaskan seperti apa data kepesertaan badan usaha, baik BUMN/BUMD maupun swasta? Apakah mereka peserta yang aktif beriuran?

Sejauh ini target penerimaan iuran dari kepesertaan yang berasal dari badan usaha cukup baik. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah aspek kepatuhan dalam hal ini Badan Usaha harus secara transparan memberikan data gaji karyawannya yang sebenarnya kepada BPJS Kesehatan. Hal tersebut bukan hanya mempengaruhi pada angka iuran yang dikenakan tetapi juga menyangkut hak dari karyawan itu sendiri. Dikhawatirkan dengan tidak memberikan data gaji karyawan yang sebenarnya, karyawan tersebut tidak mendapatkan hak-hak yang memang harus dan layak untuk diberikan.

Lalu mengenai CBG’s, seperti apa pembayarannya? Benarkah, banyak inefisiensi dalam pembayaran CBG’s ini?

Sesuai dengan Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, BPJS Kesehatan menggunakan sistem pola pembayaran Indonesia Case Absed Groups dalam pelayanan pembayaran di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan.

Sistem tarif INA-CBGs termasuk dalam metode pembayaran prospektif, dimana tarif pelayanan kesehatan telah ditetapkan sebelum pelayanan kesehatan diberikan kepada pasien. Dengan sistem ini, pasien memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada pengurangan kualitas. Bagi pembayar, keuntungan sistem tarif INA CBGs adalah terdapat pembagian resiko keuangan dengan provider, biaya administrasi lebih rendah, serta dapat mendorong peningkatan sistem informasi.

INA-CBGs adalah tarif paket pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh komponen biaya RS, mulai dari pelayanan non medis hingga tindakan medis. Dalam sistem INA-CBGs, pasien dikelompokkan ke dalam satu episode yang dikaitkan dengan biaya pelayanan. Setiap kelompok memiliki ciri klinis yang sama, sehingga pemakaian sumber daya dan biaya yang dikeluarkan juga kurang lebih sama. Pengelompokan ini didasarkan pada data biaya dan data coding penyakit dari beberapa rumah sakit terpilih.

Di sisi lain, dengan sistem tarif INA-CBGs, bukan berarti pihak provider tak bisa mendapat keuntungan. Provider tetap bisa surplus, asalkan sanggup melakukan tindakan efisiensi. Jadi sistem ini mendorong efisiensi bukan inefisiensi.

Sesuai dengan tugas dan wewenang, BPJS Kesehatan melakukan verifikasi klaim pelayanan kesehatan yang ter-coding dalam INA-CBGs yang diajukan fasilitas kesehatan mitra kerja BPJS kesehatan dan membayar apabila telah sesuai ketentuan.

Pada sisi lain, kalangan dokter dan rumah sakit masih mengeluhkan rendahnya tarif CBG’s serta lambatnya proses pembayaran?

Tarif dikaji dan disusun oleh National Casemix Center di Kementerian Kesehatan dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan, menjadi kontradiktif apabila dinyatakan rendah dan lambatnya pembayaran dengan beberapa fakta dan data terkait perkembangan fasilitas kesehatan yang menjadi mitra BPJS Kesehatan di Indonesia. Misalnya, saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang menjadi mitra BPJS Kesehatan terus bertambah dan lebih dari 50 persen adalah fasilitas kesehatan swasta.

Sesuai dengan Perpres 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan, BPJS Kesehatan berkewajiban membayar tagihan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan maksimal N+15 hari kerja sejak dokumen klaim diterima lengkap. Apabila BPJS Kesehatan terlambat dalam pembayaran klaim, BPJS Kesehatan wajib membayar ganti rugi (denda) kepada fasilitas kesehatan sebesar 1 persen dari jumlah yang dibayarkan untuk setiap 1 bulan keterlambatan.

Apabila dokumen klaim diterima lengkap, BPJS Kesehatan akan melakukan proses verifikasi. Verifikasi digunakan sebagai kegiatan memeriksa berkas dari segi ketelitian, kesesuaian dan eksistensinya. Dalam pelayanan kesehatan verifikasi merupakan teknik dalam memeriksa kesesuaian antara tindakan, berkas dan tujuan pelaksanaannya. Dengan melaksanakan verifikasi diharapkan pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta merupakan pelayanan kesehatan yang tepat dan dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Dalam upaya meningkatkan pelayanan administrasi klaim di FKRTL, khususnya dalam hal mempercepat pembayaran klaim telah dilakukan berbagai upaya diantaranya membangun bridging system dan membangun forum-forum kemitraan. BPJS Kesehatan mengharap kerja sama rumah sakit untuk dapat mempercepat pengajuan klaim dan memperhatikan kelengkapan berkasnya.

Pada prinsipnya BPJS Kesehatan siap melakukan percepatan pembayaran klaim rumah sakit sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, juga mengharap kerja sama rumah sakit untuk dapat mempercepat pengajuan klaim dan memperhatikan kelengkapan berkasnya. Adapun terkait pembagian jasa medis, sudah masuk dalam kewenangan internal manajemen rumah sakit yang bersangkutan. Oleh sebab itu dihimbau untuk fasilitas kesehatan untuk dapat memberikan pelayanan sesuai standar, patuh terhadap kontrak kerja sama, serta melakukan evaluasi medis dan administratif secara rutin.

Seperti apa data klaim CBG’s ini?

Berdasarkan data yang telah di audit oleh KAP sampai dengan 31 Desember 2016, BPJS Kesehatan telah membayarkan Biaya Manfaat sebesar Rp67,2 triliun, yang di dalam terdapat angka klaim INA-CBGs untuk Rawat Jalan tingkat Lanjutan sebesar Rp16,5 triliun dan Rawat Inap Tingkat Lanjutan sebesar Rp37,4 triliun.

Bagaimana pula dengan kapitasi dan angka rujukan? seperti apa rasio keduanya, antara angka rujukan dan kapitasi, terhadap klaim CBG’s?

Berdasarkan data yang telah di audit oleh KAP sampai dengan 31 Desember 2016, BPJS Kesehatan telah membayar Kapitasi kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama seperti puskesmas, klinik, dokter praktik perorangan sebesar Rp11,8 triliun.

Total pemanfaatan pelayanan kesehatan di 2016 terdiri dari kunjungan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik pratama, dan dokter praktek perorangan mencapai sekitar 120,9 juta kunjungan, untuk rawat jalan di poliklinik dan rumah sakit sebanyak 49,3 juta, dan rawat inap 7,6 juta. Sedangkan angka rujukan sebesar 15,1 juta.

Bagaimana dengan data klaim yang katanya terindikasi fraud, sekitar 1 Juta lebih (akumulasi dari 2014-2016)?

Kita lagi membangun kerjasama KPK dan Kemenkes, membangun pedoman identifikasi fraud. Bagaimana menetapkan itu sebagai wilayah kecurangan atau abuse. Itu kan dalam proses pendefinisian sampai penetapan, dan sanksi sebagainya.

Jadi saat ini itu masih dicatat sebagai potensi oleh kami untuk diselamatkan… Jadi kami menyebutkan dana-dana yang tidak kami lakukan pembayaran, itu biasanya, dinyatakan belum dibayar. Artinya tidak ada potensi kecurangan jika itu belum dibayarkan. Jadi memang verifikasi kami melakukan identifikasi kemungkinan, jadi belum bisa dikatakan terindikasi fraud. karena tidak ada pedoman yang ditetapkan secara mendasarkan, bagaimana pengidentifikasian itu sebuah fraud. masih dalam proses pencatatan.

Dalam perjalanan BPJS Kesehatan dengan pembayaran berbasis INA CBG’s kita mencatat ada ketidaksesuaian antara yang BPJS bayarkan dengan yang rumah sakit ajukan. Di dalam yang tidak sepakat itu tentu ada potensi terindikasi kecurangan. Tetapi saat ini dibentuk satgas antara KPK, Kemenkes, dan BPJS, pedoman pencegahan kecurangan, pendeteksi kecurangan, dan penanganan kecurangan. Kira-kira begitu.

Apakah ada ketidaksepahaman antara BPJS dengan rumah sakit?

Ada hal-hal yang misalnya terkait perbedaaan, pemahaman melihat kaidah koding. kita tidak sama melihat nya, maka itu kita selesaikan dan diajukan ke kemenkes yaitu ke tim penyusun tarif. Jadi diselesaikan di sana. artinya hal hal yang tdk disepakti dieskalasi lalu disesuaikan.

Kedua, bisa jadi ada ketidaksamaan melihat indikasi medis suatu diagnosa dan itu diselesaikan dengan mekanisme komite medis rumah sakit, kita minta dikonfirmasi. Ada juga mekanisme dewan pertimbangan medis, dan tim pengendali mutu dan biaya. Kita minta second opinion mereka. Di situlah fungsi BPJS sebagai verifikator.

Jadi itu data klaim bermasalah sudah dibayarkan semua atau dipending?

Tidak dibayarkan. Artinya, yang kami catat dan mungkin jadi data di satgas, itu biasanya yang belum dibayarkan karena kita belum sepakat melihat indikasi fraud dan kaidah koding. (Joni Aswira Putra dan Erick Tanjung)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI