E. Gejala hipersomnolens dan gejala yang terkait tidak dijelaskan dengan baik oleh kelainan tidur lain, gangguan medis, neurologis, atau psikiatri lainnya (terutama gangguan bipolar), atau penggunaan obat-obatan terlarang, atau obat-obatan.
Pasien KLS sering salah didiagnosis dengan gangguan kejiwaan. Periode mengantuk, hiperfagia, dan menutup diri dapat menyerupai gejala depresi berat, dan pada beberapa pasien dapat mengalami periode manik, sehingga salah didiagnosis dengan gangguan bipolar. Ada juga sejumlah gejala mood lainnya atau gangguan perseptual yang menyerupai gangguan kejiwaan primer. Narkolepsi, sindrom Klüver-Bucy, dan epilepsi lobus temporal (yang dikesampingkan di sini oleh EEG) juga dapat menghasilkan profil gejala yang serupa.
Astuti mengatakan multiple sclerosis juga memiliki komponen neurologis yang bisa meniru profil gejala KLS. Sebelum diagnosis akhir dapat dilakukan, semua kemungkinan lain harus dikesampingkan dengan hati-hati, dan kumpulan gejala harus sesuai dengan yang biasa diamati pada pasien KLS.
Sindrom Kleine-Levin memiliki perjalanan klinis yang benigna, dengan hilangnya gejala secara spontan. Sebuah studi tahun 2005 terhadap 186 KLS melaporkan bahwa pada subyek dimana penyakit ini berakhir, usia rata-rata adalah 23 dan durasi rata-rata adalah 4 tahun. Subyek mengalami durasi rata-rata 6 bulan antara episode, tapi ini berkisar antara 0,5 sampai 72 bulan. Subjek biasanya mengalami serangan yang kurang sering dan kurang intens menjelang akhir perjalanan penyakit, dan subjek dianggap sembuh jika mereka tidak mengalami episode selama 6 tahun atau lebih.
Tidak ada pengobatan definitif untuk sindrom Kleine-Levin selama episode serta periode interepisodik. Berbagai stimulan, termasuk methylphenidate, modafinil, pemoline-piracetam-meclofenoxate, D-amfetamin, efedrin, metamfetamin, amfetamin, dll. telah digunakan selama episode dalam banyak laporan kasus, tetapi tidak didapatkan manfaat yang konsisten dari salah satu obat tersebut. Obat-obatan tersebut dapat digunakan untuk mengobati kantuk, namun sayangnya tidak memperbaiki fungsi kognitif atau unsur lain dari kondisi perubaan mental. Obat lithium diketahui dapat memperbaiki perilaku abnormal dan pemulihan gejala secara signifikan (mengurangi durasi episode).
Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah kemiripan antara sindrom Kleine-Levin dan gangguan bipolar (yaitu: adanya gejala kambuhan episode dan perubahan mood mendadak selama episode hingga hipomanik pada akhir episode pada beberapa pasien). Manfaat serupa juga diperhatikan dengan carbamazepine dalam beberapa laporan kasus. Respons terhadap pengobatan seringkali terbatas, dan tidak ada bukti untuk mendukung penggunaan terapi ini.
Berbagai laporan kasus menggunakan obat-obatan seperti flumazenil, chlorpromazine, levomepromazine, trifluoperazine, haloperidol, thioridazine, clozapine, dan risperidone dan ternyata tidak efektif. Terapi elektrokonvulsif (ECT) dan terapi koma insulin tidak berpengaruh pada gejala KLS (dan bahkan memperburuk kebingungan dalam kasus terapi ECT).
Selama periode interepisodik, berbagai mood stabilizer, seperti litium, karbamazepin, valproat, fenitoin, dan fenobarbital, diteliti seperti yang disebutkan di atas persamaan antara gangguan bipolar dan KLS. Dari percobaan ini, hanya lithium yang memiliki tingkat respons yang dilaporkan secara signifikan lebih tinggi daripada tanpa pengobatan. Lithium telah mengurangi kemungkinan kambuh. Bahkan karbamazepin juga mengurangi jumlah kambuh dalam banyak laporan.
Gangguan tidur juga sering dikeluhkan pasca trauma kepala, dengan angka kejadian 30-70 persen. Insomnia, rasa lelah, dan rasa kantuk berlebih merupakan keluhan gangguan tidur yang paling banyak disampaikan. Depresi, gangguan cemas, dan nyeri merupakan komorbiditas yang sering dan dapat juga mempengaruhi kualitas tidur. Diagnosis banding gangguan tidur pasca trauma kepala antara lain obstructive sleep apnea (OSA), central sleep apnea, complex sleep apnea, hipersomnia akibat kondisi medis, gangguan tidur irama sirkadian, insomnia, parasomnia, periodic limb movement disorder, nyeri, depresi/kecemasan, dan rasa lelah.
Diagnosis gangguan tidur membutuhkan polisomnografi, multiple sleep latency test (MSLT), dan/atau actigraphy.
Post-traumatic hypersomnia (PTH) merupakan kelainan yang ditandai rasa kantuk berlebih yang terjadi akibat kejadian trauma melibatkan sistem saraf pusat. Diagnosis PTH dibuat dengan kriteria rasa kantuk berlebih terjadi hanya setelah trauma, penyebab lain disingkirkan anamnesis dan polisomnografi nokturnal. Perlu disingkirkan juga efek sedatif obat-obatan yang sedang dikonsumsi pasien, misalnya obat antiepilepsi.
"Belum ada laporan penelitian yang menjelaskan lesi pada struktur tertentu yang menjadi prediktor hipersomnia pada pasien TBI," kata Astuti.
Pasien dengan narkolepsi atau hipersomnia akibat trauma kepala memerlukan obat stimulan seperti modafinil, metilfenidat, atau amfetamin dengan dosis yang sama seperti narkolepsi idiopatik. Penelitian lain melaporkan bahwa modafinil kurang efektif untuk mengatasi rasa kantuk berlebih akibat trauma kepala. Klinisi perlu mempertimbangkan terapi konservatif, seperti strategi tidur dan kafein dapat membantu pada kasus PTH.