Wiji Thukul, Anakmu Berhasil Menjadi Peluru.....

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 20 Juni 2018 | 15:31 WIB
Wiji Thukul, Anakmu Berhasil Menjadi Peluru.....
Fitri Nganti Wani, anak penyair Wiji Thukul, dalam peluncuran buku antologi puisi terbarunya, "Kau Berhasil Jadi Peluru", di Jogja Village, 8 Juni 2018. [Suara.com/Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masa itu memar//Bagai lebam Titania//Yang diculik kenyataan//Menjadi budak takdir//Dipaksa membangun menara duka..... (Fitri Nganthi Wani—Bekas Luka Berkabar)

Petikan puisi itu  merupakan salah satu karya Fitri Nganthi Wani, putri sulung sang penyair et aktivis reformasi 1998 yang kekinian masih dinyatakan hilang diculik, Wiji Thukul.

Pada hari Jumat, 8 Juni 2018, Fitri merilis buku antologi puisi barunya berjudul “Kau Berhasil Jadi Peluru” di Jogja Village, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Fitri menceritakan buku yang kini sudah layak dibaca untuk publik itu, merekam perjalanan hidupnya yang pernah dilalui selama ia ditinggal sang ayah.

Ia merasa puisi adalah satu-satunya obat trauma yang mujarab. Dengan begitu, membuatnya lebih tenang dan berkonsentrasi dalam melakukan kegiatan lainnya sepeninggal “Si Penyair Pelo”—julukan beken sang ayah.

Fitri mengakui masih sering mengingat Wiji Thukul yang hilang sejak 22 tahun silam, terhitung mulai tahun 1996-1997, menjelang reformasi tiba.

Kehilangan sosok ayah membuatnya menanggung luka dan kepedihan mendalam. Untuk mengobati rasa rindu, puisi adalah satu-satunya jalan.

 “Ada titik saya benar-benar tak sanggup bercerita kepada siapa pun, akhirnya saya menulis. Dengan menulis sepanjang apa pun, saya menemukan titik di mana marah sudah percuma, menangis itu percuma. Saya menemukan kelegaan,“ kata Fitri Nganthi Wani saat memberikan keterangan seusai peluncuran buku barunya.

Fitri menulis dalam emosi yang paling murni seperti sedih maupun marah. Setelah satu atau dua tahun lewat seusai menyelesaikan satu puisi, ia mengakui mengagumi tulisannya sendiri.

Baca Juga: Kakek Perkosa Cucu di Aceh Terancam Dicambuk 200 Kali

“Ketika menulis dalam emosi sedih marah, lalu menulis dalam setahun dua tahun kamu akan merasa mendapatkan tulisan yang bagus, akan kagum sendiri,” kata Fitri sembari membuka lembaran puisi dari bukunya.

Fitri merasa sangat bahagia dengan diluncurkannya buku keduanya. Ia ingin menjadikan karyanya sebagai luapan semangat bagi publik, untuk dapat membuat hidup lebih berarti.

“Merupakan suatu kebahagian tersendiri buat saya, akhirnya bisa membuat puisi yang saya kira tidak pernah bisa diterbitkan,” tukasnya.

Kakak dari Fajar Merah ini menjelaskan, lahirnya buku ini tidak terlepas dari sebuah film “Istirahtlah Kata-Kata,” yang mengisahkan perjalanan bapaknya saat menapaki pahitnya rezim orde baru. Dari sana, ia mendapatkan penghidupan jiwa untuk memulai menerbitkan sebuah buku.

“Kami berawal dari perbincangan sederhana, lalu timbul ide untuk melanjutkan hubungan dari ‘Istirahatlah Kata-kata’ menjadi lebih dekat. Saya cenderung bilang ini hubungan keluarga, dengan sangat bahagia buku ini terbit,” kat Fitri.

Dari 750 judul puisi yang ia serahkan, ditetapkan 50 puisi dalam satu buku. Dalam 50 puisi itu Fitri banyak mengisahkan berbagi kehidupan tentang keluargnya, dirinya, ibu dan sang Ayah,

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI