Kala Nyawa Penumpang Kapal Berada di Bawah Aturan Otoritas

Iwan Supriyatna Suara.Com
Senin, 09 Juli 2018 | 08:47 WIB
Kala Nyawa Penumpang Kapal Berada di Bawah Aturan Otoritas
Fery KM Lestari Maju tenggelam di Bulukumba. (ist)

Suara.com - Tragedi kecelakaan dua kapal penumpang yang terjadi di Danau Toba, Sumatera Utara dan Selat Selayar, Sulawesi Selatan menimbulkan beragam tanggapan dari berbagai kalangan.

Mengingat, dua kecelakaan ini menunjukan betapa manajemen transportasi penyeberangan air di Indonesia buruk dan tidak dijalankan secara profesional.

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menilai, ada pelanggaran serius dalam hal perizinan, peruntukan dan kelaikan kapal atas kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba dan KM Lestari Maju di Selat Selayar.

Wakil Ketua Umum PII, Heru Dewanto menjelaskan, seluruh regulasi mengenai transportasi penyeberangan air di Indonesia baik itu dari sisi teknis maupun keselamatan penumpang sebenarnya sudah ada, dan telah mengacu pada aturan internasional.

Selain itu, sertifikasi kapal juga secara jelas menunjukan peruntukan kapal, apakah itu untuk kapal penumpang maupun kapal kargo.

Faktanya di lapangan, pelanggaran aturan ini masih terus terjadi sehingga korbannya adalah penumpang sendiri.

Seperti yang diberitakan, penyebab utama karamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba diduga kuat karena kelebihan muatan (overloaded), sementara KM Lestari Maju belakangan diketahui merupakan kapal pengangkut barang namun diubah menjadi kapal penumpang.

Parahnya, perubahan ini diduga terjadi tanpa izin dan tanpa adanya sertifikasi kelaikan, dibuktikan dengan data dari Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang mencatat KM Lestari Maju adalah kapal kargo, bukan kapal penumpang. Bahkan KM Lestasi Maju juga kelebihan muatan.

"Seluruh regulasi sudah ada, tapi tidak dijalankan. Bisa karena faktor kecerobohan dan kompetensi, tapi bisa juga karena faktor kesengajaan. Pengawasan terhadap operator dan kelaikan kapal sangat lemah, sehingga membuat kesan keselamatan transportasi air diabaikan," ucap Heru, Senin (9/7/2018).

Baca Juga: Seorang Ibu di Jambi Bertarung dengan Buaya Selamatkan Anaknya

Heru menambahkan, meskipun aturan keselamatan transportasi air sudah ada, seperti yang tercantum dalam PM No.25 tahun 2015 tentang Standar Keselamatan dan PM No.37 tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Angkutan Laut, tidak serta merta aturan ini dipahami oleh SDM terutama di level Dinas Perhubungan Kabupaten yang membawahi pengaturan transportasi air tradisional untuk kapal sungai dan danau.

Sementara terkait SDM di Kementerian Perhubungan, masih sangat kurang aparat yang berasal dari Teknik Perkapalan atau Teknik Kelautan, atau orang yang benar-benar paham mengenai persoalan transportasi air.

"Kurangnya kompetensi aparatur negara menyebabkan pemahaman terhadap aturan standar keselamatan dan operasional menjadi sangat minim," tutur Heru.

KM Sinar Bangun yang berangkat dari Pelabuhan Tigaras di Kabupaten Simalungun menuju Pelabuhan Simanindi di Kabupaten Samosir tenggelam pada tanggal 18 Juni 2018.

Kapal yang seharusnya hanya terdiri dari 1 geladak dan berkapasitas 45 orang ini ternyata dimodifikasi sedemikian rupa oleh pemilik kapal sehingga memiliki dua geladak dan balkon.

Selain itu, pada saat kecelakaan terjadi, kapal diperkirakan memuat sekitar 150-180 penumpang. Hingga hari terakhir pencarian korban (operasi pencarian dihentikan pada 3 Juli 2018), 164 korban dinyatakan hilang, tiga orang ditemukan meninggal, dan hanya 21 orang yang selamat.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI