Ketua Umum YLBHI Asfinawati menilai, pemberian remisi terhadap Susrama terkesan ganjil. Apalagi, Susrama selama proses persidangan kasusnya, tak pernah mengakui perbuatannya membunuh Prabangsa.
“Karena tak pernah mau mengakui perbuatannya, yang berbanding terbaik dengan bukti-bukti persidangan, pemotongan masa hukuman tidak sepantasnya diberikan kepada Susrama,” tegas Asfinawati.
Asfinawati merasa heran bagaimana Kemenkum HAM memilih napi-napi yang bakal diberikan resmisi. Sebab dalam kasus Susrama, pembunuh jurnalis itu bisa dipastikan tak lulus menjalani sistem pemasyarakatan di lapas karena tak mau mengakui perbuatannya.
Remisi, kata dia, masuk dalam kategori politik penegakan hukum. Dengan demikian, remisi diberikan melalui penilaian kekhususan karakter pidana yang otomatis berbeda antara satu napi dan lainnya.
”Tindak pidana yang dilakukan Susrama tidak bisa digolongkan dalam pidana biasa, karena ia melakukan pembunuhan berencana untuk menutupi kejahatan lainnya, yakni dugaan korupsi.”
Sementara logika yang dibangun Kemenkumham justru terbalik. Mereka menilai kejahatan Susrama sama seperti kasus pembunuhan lainnya seperti yang diterangkan Menkumham Yasonna Laoly beberapa waktu lalu.
“Pertanyaannya, politik penegakan hukum seperti apa yang mau dilakukan pemerintah? Apakah untuk orang seperti Susrama atau untuk orang-orang kecil, yang sesungguhnya dia melakukan kejahatan karena terpaksa?”
![I Nyoman Susrama, pembunuh jurnalis Radar Bali Anak Agung Bagus Narendra Prabangsa pada tahun 2009. [Antara Foto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/01/28/90041-susrama-pembunuha-jurnalis-radar-bali.jpg)
Bukan Pembunuhan Biasa
Dalam diskusi itu, Ketua AJI Indonesia Abdul Manan mengatakan, remisi untuk Susrama jelas mengenyampingkan rasa keadilan.
Baca Juga: 3 Catatan Dosa Simon Beck, Hakim Garis yang Legalkan Gol Offside Liverpool
“Pemerintah punya sikap yang tegas dalam kasus korupsi. Harusnya, sikap yang sama diterapkan dalam kasus pembunuhan jurnalis. Remisi ini hanya memberikan impunitas kepada para pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Kita bisa mencegah kekerasan terhadap jurnalis dengan cara tidak memberikan keringanan hukuman kepada Susrama,” tegas Manan.
Berdasarkan data AJI, kasus Prabangsa adalah satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia. Kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus yang sudah diusut dan dituntaskan.
Masih ada 8 kasus lainnya belum tersentuh hukum. Delapan kasus itu, di antaranya pembunuhan Fuad M Syarifuddin alias Udin, wartawan Harian Bernas Yogya (1996); dan, pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006).
Selanjutnya kasus kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).
Berbeda dengan lainnya, kasus Prabangsa ini bisa diproses hukum dan pelakunya divonis penjara. Dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, hakim menghukum Susrama dengan divonis penjara seumur hidup.
![Diskusi yang digelar AJI Jakarta bersama Komnas HAM "Remisi Pembunuh Jurnalis dalam Perspektif HAM" di Media Center Komnas HAM, Jalan Latuharhari No 4-B, Menteng, Jakarta, Jumat (8/2/2019). [Suara.com/Erick Tanjung]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/02/08/95690-diskusi-aji-soal-remisi-pembunuh-jurnalis-susrama.jpg)
Sebanyak delapan orang lainnya yang ikut terlibat, juga dihukum penjara 5 tahun sampai 20 tahun. Upaya mereka untuk banding tak membuahkan hasil. Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya kesembilan terdakwa, April 2010. Keputusan ini diperkuat oleh hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010.