Jadi saya mengorbankan kepentingan dan diri saya, semuanya terlihat normal saat itu. Jadi semuanya menjadi lebih buruk.
Pada awalnya, saya cukup tidak suka, tapi lama-kelamaan, dalam tiga atau empat tahun terakhir hubungan kami, seks akan memicu serangan kepanikan secara konstan.
Saya akan terserang panik setiap Ira mengekang dan memaksa saya. Saat saya panik, saya akan menjauhinya, sembunyi dan lari, jauh dari rumah, atau setidaknya jauh dari kamar.
Ira menganggap masalah seks kami karena saya. Oleh karenanya setiap beberapa tahun sekali ia akan membawa saya ke ahli seks. Setiap saya mengatakan ada beberapa hal yang saya tidak suka, dan saya tidak suka berhubungan seks, saya akan dibilang bahwa sayalah masalahnya. Saya tidak mengatakan apa-apa tentang penyiksaan dan perkosaan yang saya alami.
Untuk Ira, konsultasi ke seksologis seakan membenarkan pemikirannya. Saya baru bicara soal kekerasan yang saya alami beberapa waktu sebelum kami bercerai. Saya tidak berhenti bicara soal itu.
'Saya menemukan dukungan dan jalan keluar'
Saat itu musim gugur, dan saya terbaring di tempat tidur karena sakit bronkitis dan demam setinggi 39-40 derajat Celcius selama dua minggu. Tidak ada yang menengok saya selama itu. Itulah saat saya menyadari bahwa hidup saya tidak ada harganya dan tidak ada yang akan merindukan saya kalau saya meninggal saat itu juga.
Momen itu mencerahkan saya: saya merasa ngeri, jijik, dan kasihan pada diri saya. Saya ingin bilang ke seseorang, tapi saya tidak tahu ke siapa dan bagaimana caranya.
Suatu saat saya pergi ke rumah orang tua saya ketika mereka tidak di rumah, hanya untuk bisa sendiri. Saya sedang menelusuri internet dan melihat sebuah kotak chat yang tiba-tiba muncul. Semuanya serba anonim, seolah-olah kita tidak eksis.
Baca Juga: WHO: Jika Lockdown sampai 6 Bulan, Akan Memicu 31 Juta Kasus KDRT
Itulah pertama kalinya saya mengungkap semua yang terjadi pada saya. Saya masih tidak sadar bahwa itu adalah penyiksaan, tapi sejak saat itu saya mulai berani berkata "tidak" lebih sering.
Pertama, soal hal-hal kecil. Penting bagi saya untuk berkata "tidak" daripada diam. Kapanpun saya butuh kekuatan, saya selalu terngiang momen ketika saya sakit.
Akhirnya saya menemukan terapis keluarga yang memberi saya dukungan. Ira dan saya bergiliran bicara kepadanya, dan ia dilarang menginterupsi saya. Itulah ketika saya pertama kali bicara tentang penyiksaan bagi saya. Ia sangat marah, lalu berteriak kepada saya dan menyangkal semuanya.
Ia lalu mengusulkan kita bercerai sesaat sesudahnya. Saya rasa ia sebenarnya tidak ingin bercerai, itu hanyalah upayanya agar saya diam.
Saya tahu kesempatan ini tidak datang dua kali dan saya sepakat bercerai. Di sebuah kantor catatan penduduk kami mengantri, jadi kami cari kantor lainnya. Saya berpikir, saya harus bercerai jika saya punya kesempatan. Kami pun akhirnya bisa bercerai.
Hari paling bahagia dalam hidup saya adalah ketika saya mendapat surat resmi perceraian sebulan kemudian. Beberapa hari setelah bercerai saya berteriak: "Kamu memerkosa saya!" kepada Ira.