Oleh karena itu, SAFEnet sebagai organisasi regional yang melindungi hak digital di kawasan Asia Tenggara, mendesak kepada Kementerian Kesehatan untuk membatalkan rencana pemidanaan kepada Aqwam dengan jerat UU ITE. Cuitan yang disampaikan Aqwam harus dilihat sebagai bentuk kritik terhadap performa Menteri Kesehatan dalam menangani pandemi Covid-19.
"Penyampaian kritik menjadi bagian hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Konstitusi dan karenanya harus dilindungi demi menjamin terjaganya demokrasi di Indonesia," jelasnya.
Selain itu, Menkes didorong lebih berfokus pada upaya penanganan pandemi Covid-19 dengan lebih banyak mendengarkan masukan dan kritik dari publik, termasuk di dalamnya adalah jurnalis. Pemidanaan terhadap kritik penanganan Covid-19 justru menunjukkan Kementerian Kesehatan tidak memiliki itikad baik untuk membuka ruang keterlibatan bagi publik.
Jurnalis Berhak Mengkritik Melalui Media Sosial
Damar menuturkan, pada masa pandemi Covid-19, informasi akurat berperan penting untuk menjadikan masyarakat lebih waspada terhadap penyebaran virus Korona. Kerja-kerja jurnalistik yang cekatan dan akurat akan melawan balik disinformasi dan upaya menutup-nutupi kondisi sebenarnya di lapangan.
Upaya jurnalis untuk melakukan pengecekan suatu informasi atau pernyataan pejabat publik, mewawancarai narasumber yang kredibel, membantu masyarakat untuk mendapat kebenaran dari situasi sulit yang sedang dialami bangsa ini. Tak jarang jurnalis menggunakan media sosial untuk menyampaikan keresahan dan juga kritik.
“Tak beda dengan karya jurnalistik yang ditulis jurnalis, kritik individu jurnalis ini tetap penting untuk dilindungi sebagaimana diatur dalam konstitusi Indonesia," terangnya.
"Apalagi bila kritik itu didasarkan pada fakta dan diperlukan untuk memperbaiki kondisi penanganan Covid-19,” tambah Damar.