Suara.com - Tembakan senjata meletus di ibu kota Somalia pada Minggu antara pasukan keamanan yang pro pemerintah dengan pasukan lainnya yang kontra atas diperpanjangnya kekuasaan presiden.
Melansir Aljazeera, ketegangan itu terjadi lantaran kekuasaan Presiden Mohamed Abdullahi Mohamed diperpanjang selama dua tahun.
Hal ini menyoroti peringatan sebelumnya yang menyebut kebuntuan pemilu negara itu dapat meningkatkan ketidakstabilan negara.
Diperkirakan, ratusan tentara pemberontak mengambil posisi kunci di Mogadishu utara saat warga bersembunyi.
Hassan Hundubey Jimale, Menteri Keamanan dalam Negeri Somalia menyatakan belasungkawanya kepada seluruh korban serangan. Namun ia tidak menyebutkan berapa banyak orang yang tewas maupun terluka.
Jimale berpendapat, beberapa orang yang tidak tertarik dengan keamanan rakyat negara melancarkan serangan di Mogadishu. Ia juga mengatakan bahwa pasukan keamanan telah memukul mundur mereka.
Insiden ini bermula setelah Presiden menandatangani undang-undang pada pertengahan April yang memperpanjang mandatnya selama dua tahun. Hal ini memicu protes keras di Somalia.
Somalia disebut tengah berjuang untuk menegakkan kembali otoritas pemerintah pusat dan membangun kembali bangsa dengan bantuan internasional. Pembatalan pemilu yang sebelumnya dijadwalkan pada Februari telah menimbulkan krisis baru.
“Ada baku tembak antara militer pro-oposisi dan pasukan pemerintah di Fagah Junction,” kata Halima Osman, penduduk Fagah di Mogadishu, kepada kantor berita Reuters.
Baca Juga: Bom Bunuh Diri Meledak di Depan Restoran di Somalia, 20 Nyawa Melayang
Menurut keterangan saksi mata, empat kendaraan militer terlihat ditempatkan di satu tempat di kawasan Fagah.
Mantan Presiden Somalia, Hassan Sheikh Mohamud dalam cuitannya, menuduh bahwa pasukan pro pemerintah menyerang kediamannya pada Minggu.
“Saya telah memperingatkan dan sekarang mengulangi betapa berbahayanya mempolitisasi keamanan. (Mohamed) bertanggung jawab atas apapun yang terjadi sebagai akibat dari ini,” tulis Mohamud dalam akun twitternya.
Menanggapi hal ini, Menteri Keamanan dalam Negeri, Hassan Hundubey Jimale membantah klaim mantan presiden dan menuduh serangan tersebut dilakukan oleh “milisi bersenjata”.
Respons Organisasi Internasional
Uni Eropa menyampaikan keprihatinannya atas insiden yang terjadi dan meminta kedua belah pihak untuk melakukan “pengekangan maksimum”.