Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?

Siswanto Suara.Com
Senin, 24 Mei 2021 | 07:00 WIB
Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?
Ilustrasi transmigran [elements.envato]

“Kalau dihitung-hitung penghasilan panen dan pemasukan nggak sebanding. Pengeluaran banyak, pemasukan kadang nggak ada.”

Menurut pendapat Firman yang sekarang paling dibutuhkan transmigran adalah kestabilan harga hasil panen.

Yang terjadi selama ini harga-harga hasil panen selalu berubah-ubah, kadang naik, kadang benar-benar anjlok dan merugikan petani.

“Misalnya harga karet kadang Rp14 ribu sekilo, lalu anjlok jadi Rp4 ribu, kadang naik lagi jadi Rp7 ribu, nggak lama kemudian turun lagi. Singkong juga begitu, kadang Rp800 per kilo, lalu naik berapa hari, entar turun lagi.”

Dia meyakini jikalau harga tidak naik turun terus, dalam artian selalu memberikan keuntungan, kehidupan transmigran tak akan sesusah sekarang. Tapi masalahnya apa mungkin harga pasar bisa diharapkan selalu tetap dan selalu menguntungkan.

Persoalan-persoalan seperti itu menjadi perbincangan sehari-hari para transmigran. Firman pesimistis akan terjadi perubahan kalaupun masalah yang dirasakan para petani disampaikan ke pengambil kebijakan, “Percuma aja kayaknya ngajukan permintaan koyo ngono.”

Mengapa anak-anak muda merantau?

Pendidikan mayoritas remaja di daerah penempatan keluarga Firman adalah lulusan sekolah menengah atas. Menurut informasi Firman, hanya sebagian kecil remaja yang sampai memasuki bangku perkuliahan.

Setelah menyelesaikan pendidikan, tak banyak lapangan pekerjaan yang dapat mereka akses.

“Sehabis SMA sebagian nguli singkong, nyabut singkong, manen singkong. Kerjaan orang bujang di sana ya mayoritas gitu, kuli,” kata Firman.

Baca Juga: Kisah Kontraktor Kenyang Hadapi Para Pemalak Proyek

Sistem pembayaran buruh, katakan saja buruh panen singkong, biasanya dihitung per ton: Rp100 ribu. Kalau empat buruh dalam sehari sanggup memanen empat ton singkong, berarti total yang mereka dapatkan hari itu Rp400 ribu dan dibagi menjadi empat orang: masing-masing mendapat Rp100 ribu per hari.

Sawah [elements.envato]
Ilustrasi transmigran [elements.envato]

Seperti tadi telah disinggung, pekerjaan semacam ini tidak setiap hari tersedia dan kalaupun ada biasanya tak semua orang mendapat kesempatan yang sama.

“Di sana itu cari kerja susah. Belum tentu dalam satu minggu itu ada kerjaan terus,” kata Firman.

Dengan berbekal hektaran ladang dan pengalaman, mengapa Firman tidak mengembangkan kewirausahaan di kampungnya? Ketika saya tanyakan itu, jawaban Firman sudah pesimistis duluan.

Menurut dia sulit mengembangkan usaha sendiri di kampung, selain karena peluangnya sedikit dan rendahnya perekonomian di kawasan transmigrasi, juga karena luas tanah lima hektare yang dulu dimiliki keluarganya sekarang telah menyusut menjadi kurang lebih dua hektare.

Keluarga Firman -- juga sebagian keluarga lain -- terpaksa menjual sebagian tanah sedikit demi sedikit karena didesak kebutuhan ekonomi, “Namanya orang lagi kekurangan ya kadang dijual. Jual terus. Sekarang tinggal dua hektare.”

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI